Senin, 18 November 2013

TKVDW: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Gambar dari sini

Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pengarang: HAMKA
Penerbit: Bulan Bintang
Tahun terbit: 2005 di cetakan ke 29
Jumlah halaman: 236 (21 cm)
Perolehan: Pinjem Esteh

Ini novel sastra jadul. Orang kadang menyebutnya Roman. Harusnya, aku sudah baca buku ini dari dulu. Tapi nyatanya memang baru ketemu sekarang. Aku tidak tau apakah karangan fiksi pada saat itu menggunakan bahasa seperti di buku ini atau tidak. Aku tidak tau, sebuah novel disebuat dimasukkan ke golongan buku sastra itu yang seperti apa. Atau roman. Aku tidak tau. Tapi memang tata bahasa yang dipakai di novel ini berbeda. Novel dari pengarang angkatan lama yang pernah say abaca selain ini adalah: Para Priyayi, Umar Kayam dan Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Keduanya bahasanya tidak seperti ini. Apa karena latar dan setting novel yang ada di ranah melayu minangkabau. Atau apakah ini memang gaya bahasa HAMKA? Aku tidak tau, karena baru satu inilah karya HAMKA yang pernah saya baca. Tapi intinya, gaya bahasa novel ini beda.

Kalau tentang muatan cerita, yaaa kisah cinta. Harusnya, dengan kisah seperti ini dan dengan masa terbit kisah ini pertama kali yakni tahun 1908, kisah ini bisa jadi roman cinta fenomenal. Romeo n Julietnya Indonesia. Atau Layla Majnunnya Indonesia. 

Mungkin, novel ini akan punya kekuatan seperti Romeo n Juliet atau Layla Majnun atau ohya! Sampek Ingtay jika judul novel ini adalah Zainudin Hayati.
*mbayangin buya HAMKA baca tulisan ini terus nyariin aku buat mentung kepalaku dan bilang: “Anak muda, kau tau apa?” haaaa. Tapi asli. Mendengar judulnya untuk pertama kalinya ditambah pengetahuan akan pengarangnya yang berasal dari tahun sebelum kemerdekaan, terpikirnya ini adalah buku yang bercerita tentang perjoeangan melawan pendjadjahan. Yang mungkin ada kisah tjintanya. Tapi tema besarnya adalah itu. Bukan soal budaya dan ras.  

Pesannya sampai kurasa. Di zaman itu, terbit tulisan seperti ini pastilah sangat cetar. Menggerakkan pemikiran. Menimbulkan kritik social. Menyadarkan beberapa orang akan ketimpangan karena adat budaya. Sangat pantas jika karya ini tak lekang. Karena bahkan hingga detik ini sekalipun isu ini masih sangat bisa dibahas dan diulas.

Ya. jadi buku ini isinya totally kisah cinta boiiii. Kisah cinta tak sampai. Karena adat yang kolot. Zainuddin, anak orang terbuang. Bapaknya minang yang matrilineal dan ibunya bugis yang patrilineal seperti kebanyakan penduduk dunia. Maka, ketika kedua orangtuanya meninggal. Dia bukan orang bugis dan bukan orang minang. Tak ada garis adatnya. Menjejakkan kaki di minang, tanah impiannya sejak kecil berkat dodoaian Ayahnya, ia harus menanggung kecewa karena kenyataan tersebut diatas. Beruntung ia orang yang berbudi baik. Jadi ia cukup disenangi oleh masyarakat minang walau tak sampai menganggap saudara. Hidup tak bersanak keluarga disana ia kesepian. Bertemulah ia dengan Hayati. Gadis minang kembang desanya. Bertemu kali pertama di pondok milik oranglain saat berteduh dari hujan. Terbitlah cinta itu. Cinta yang bagi zainuddin bak gelandangan menemukan sandaran dan bagi hayati cinta yang penuh empati belas kasihan.
Namun mereka tak bisa bersatu karena adat. Karena zainuddin tak berbako. Sebab bimbang pula hati hayati karena pemahaman dari teman-teman dan mamaknya tentang hal itu. Maka hayati lebih memilih orang lain yang lebih aman.

Kesedihan tak terperi melanda zainuddin. Tak lama berselang dari orang tua angkatnya yang juga meninggal ia harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh hayati. Satu-satunya sandaran hidupnya. Tapi Allah masih berbaik hati. Menguatkan raganya. Juga jiwanya melalui orang-orang yang masih peduli dengannya.
Singkat cerita merantaulah ia ketanah jawa. Berbekal bakatnya dalam menulis dan pendidikan yang pernah ia tempuh di minang, ia menjadi penulis ternama. Dari Jakarta pindah ke Surabaya, nasib baik masih menaunginya. Di Surabaya juga akhirnya ia bertemu lagi dengan Hayati dan suaminya. Oleh karena beberapa sebab yang timbul lagi dari masa lalu, pernikah hayati dan aziz berakhir perceraian. Hayati diserahkan oleh aziz kepada zainuddin. Yang diserahi menolak. Dendam di hatinya terlalu besar. Hayati dipulangkannya ke minang naik kapal Van Der Wijck dari pelabuhan SOerabadja. Dalam pada itu, tenggelamlah kapalnya.
Di akhir cerita, hayati masih sempat bertemu zainuddin yang memag mencarinya setelah tau kabar itu. Mereka kembali. Zainuddin kembali menerima hayati, begitupun sebaliknya. Namun, taka da penyatuan raga. Hayati meninggal setelah dituntun membaca syahadat oleh zainuddin.
Haaa aku ketularan gaya bahasanya.

Ada kutipan yang aku senangi di dalam surat-surat zainuddin pada hayati:
"Bagaimanakah maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tau. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kuasa gaib itulah yang menitahkan…"
Yah demikianlah kisah cinta ini berakhir. Sejak dulu beginilah cinta. He heee…

Oya, seorang teman yang asli Lamongan suatu kali bercerita kalau novel ini akan di filmkan. Dan dalam rangka membuat film itu, sang sutradara mencari sumber kebenaran cerita dari penduduk setempat. Kakek temanku itu adalah salah satu sumber yang dapat dimintai keterangan. Melalui anaknya (Ayah temanku) didapatkan cerita bahwa orangtuanya dulu ikut membantu mengevakuasi korban saat Kapal ini tenggelam di suatu malam menjelang subuh. Dan atas bantuannya itu kakek temanku itu mendapat hadiah perahu dari Belanda.

Kita tunggu saja ya filmnya.. semoga sebagus novelnya :)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar