Sabtu, 25 Januari 2014

How to get books in Jogjakerdah #2

He heh, berasa punya utang kalau nggak nerusin tulisan kemaren. Well, setelah kemaren info tempat dapat buku yang beli, sekarang saatnya tempat dapat buku yang minjem. Baik yang pake uang atau yang gratisan. Tapi sebelumnya ada satu toko buku lagi yang kemarin ketinggalan ditulis. Jadi bahas yang itu dulu ya..

Yap, namanya Yusuf Agency. Ada di sebelah Timurnya sungai Gajah Wong yang sejajar sama kampus UIN SUKA. Jalan Solo. Berseberangan secara miring sama museum Afandi. Toko buku ini menjual buku2 lawas. Baru tapi lawas. Maksudnya terbitan lama, tapi bukan second hand. Kalau kamu jeli, kamu bisa dapet buku2 bagus disitu. Dengan harga murah. 5.000 - 30.000. Yang paling mahal pun nggak sampe diatas 50.000 kayaknya. Yah cukup sekian info susulannya. Kita lanjut ke tempat peminjaman buku.

1. Perpusda Kota Yogyakarta
Letaknya sudah kusinggung kemarin di part 1. Di jalan Suroto. Belakang Gramedia. Depannya (agak miring) Togamas Suroto. Perpusda ini ya, penampilan luarnya keci banget. Designnya modern. Sepertinya sengaja untuk menarik minat anak muda. Di deretan pagar depan ada tanda pentung gede buanget warna merah. setinggi 4-5 m. Tulisannya Bank Buku. Di halaman luar ada banyak tempat duduk plus colokan listriknya. Jadi inget salah satu status di wall FB: Kebutuhan anak jaman sekarang itu, sandang, pangan dan cas2an. Ha ha.. Jangan tanya bagian dalam dan koleksi bukunya. Karena for real, aku belum pernah masukk ha ha.. Aku belum berjodoh dengan tempat itu. 2 kali kesana gagal. Pertama karena Under Reconstruction, kedua karena tutup hari libur. Selebihnya cuma bisa lewat sambil mupeng. Tapi menurut riwayat teman2ku yang hobi kesana, sepertinya tempatnya enak.

2. Perpusprop DIY
Ini ada di Jl. Tentara Rakyat Mataram No. 29 (liat di web he he). Dekat dengan Samsat Jogja atau sebelahnya Kopertis Wil Jogja. Aku juga belum pernah kesana. hee.. It just recomendation, all right?

3. Homerian Bookshop & Lybrary
Pertama diajak kesini oleh Kakakku. Buku pertama yang kupinjam: Para Priyayi-Umar Kayam. Karena waktu SMA pinjem di perpus sekolah dan belum selesai baca. Dari awal kesini, aku menduga perpustakaan ini adalah milik seorang maniak buku. Yang kemudian membagi koleksinya kepada orang lain. Pinjam buku disini bayar, tapi dari koleksi2nya terasa kalau memang ada misi ingin berbagi bacaan pada orang lain. Koleksi bukunya berkualitas. Setidaknya selain buku pertama yang kusebut aku membaca Geisha, Les Miserables dari sini. Kakakku dulu meminjam Mushashi-Eiji Yoshikawa yang segede gambreng itu disini. Berbulan-bulan.

Penataannya bagus. Buku yang baru di beri tulisan. Begitupun buku yang direkomendasikan oleh pemilik toko. Ia juga menjual buku. Buku yang di jual di kasih tulisan "Untuk dijual". Koleksi VCD juga ada. Letaknya ada di Jl. Kompol B Suprapto 38a. Depan Asrama Brimob Baciro. Dari Jembatan layang lempuyangan ke arah Timur lurus sampai ketemu perempatan yang ada lampu merahnya. Dia ada nyaris di pojokan sebelah kanan.

4. Rental buku Afro
Ini ada di bawah jembatan layang Lempuyangan. Koleksinya banyak. Yang menonjol komik dan Novelnya. Aku pernah kesana tapi nggak pinjem :D

5. Rental buku...
Maaf ya pembaca aku ndak tau namanya. Tapi kalau suatu hari kamu pengen pinjem buku bisa kesini. Letaknya ada di Jl. Kusumanegara. Jadi perempatan SGM itu ke arah Timur (arah mau ke BonBin Gembira Loka). Di pojokan perempatan arah timur laut itu ada Foto copian. Nah sebelah fotocopian itu ada rental buku. Setauku koleksinya cukup lengkap dan up to date. Aku pernah kesitu meski nggak pinjem.

6. TBM Keadilan
Ini letaknya nyelip di kampung pinggir kali code. Kampung Ledok Tukangan. Pak Agung nama pemiliknya. Beliau ini aktivis. Jadi aku kenal beliau waktu dulu jadi relawan di Jogja. Wilayahnya ada wilayah binaan. Rumahnya selain untuk TBM juga sering dipakai untuk kegiatan masyarakat yang lain. Termasuk pembinaan oleh lembaga tempatku bernaung sebagai relawan. Koleksinya juga cukup banyak. Kebanyakan diperolehnya dari proposal-proposal pengadaan buku yang ia ajukan ke pemerintah maupun pihak swasta. Dan tentu saja koleksi pribadi. Dia juga mendapat bantuan Motor yang ada box nya dibelakang, untuk menjalankan perpustakaa keliling.

7. TBM ... (lagi2 lupa namanya)
Kalau ndak salah, namanya sama atau mirip dengan TBM milik Gola Gong: Rumah Dunia. Aku dan teman2 LDK kampus dulu pernah kesana untuk silaturahmi. Tapi aku datang di akhir2 jadi nggak nyimak cerita pendiriannya. Kalau buku2 di TBM itu koleksinya cenderung lebih beragam ketimbang rental buku komersil. Ini lebih mirip perpustakaan yang ada di kampung. Letaknya ada di belakang kampus El-Rahma Jl. Sisingamangaraja.

8. TBM Dunia Pelangi
Sebenernya kalau TBM ini kayaknya sudah nggak beroprasi. Bukan karena apa2. Karena ndak ada yang jaga hu hu hu.. Yang jaga udah bertebaran di muka bumi. Ya cuma buat nostalgia. Jadi ini adalah TBM yang di inisiasi oleh temen2 relawan RZ Jogja. Meski ndak ada dukungan dari lembaga. Tapi kami memang bisa sampai bertemu dan merealisasikan ide ini karena ikatan kerelawanan. Aku bukan salah satu founding Mothernya. Pendiri utamanya adalah 4M + 1 H (Maulana, Muhajir, Maulida, Marliyanti dan Hanafi). Itu salah satu hasil diskusi sporadis serius mereka waktu backpackeran ke Lombok dimana aku nggak jadi ikut. Kami2 relawan yang lain cuma bagian teknis. Ngecat2 botol plastik bekas buat kencleng donasi, ngambilin sumbangan lemari, buku dan pelatan lain. Nyampulin buku, nempelin indeks buku, ngamen, jaga TBM dan sesekali ngisi kegiatan buat anak2 sekitar seminggu sekali. Aku pernah ngisi materi: Belajar bikin gelang dari tali. Lokasinya ada di Rumah Hanafi. Kranon, No. 577 RT.44 RW 11, Sorusutan, Umbulharjo, Jogjakarta. Kita punya Web lhoo.. he he. Semoga buku2nya terus bermanfaat.



Oya. TBM di Jogja ada banyak. Setidaknya dalam satu kampung itu ada TBMnya. TBM ini juga dibina oleh dinas perpustakaan kota. Biasanya TBM tidak memungut biaya dari buku yang dipinjam.

Buku penelitian serius tentang kebahagiaan



Haa.. aku bingung harus mulai dari mana. Dan reaksi kita terhadap sesuatu itu bisa berubah dalam hitungan sepersekian detik. Apa yang muncul di otakku saat pertama kali membuka dan membaca buku ini berbeda dengan saat ini saat aku selesai dan menutupnya. Yang patut disyukuri adalah, akhirnya aku menyelesaikannya. Karena sempat akan diselundupkan di kereta api secara bertanggungjawab. Tapi ternyata tak terkejar—lebih tepatnya memang tidak benar2 dikejar. 

Yang tak ingin kulupakan ketika nanti aku membuka kembali catatan ini adalah bahwa buku ini menjadi saksi perjalanan fisikku dan perjalanan hati (wueeeeek..). Perjalanan fisik karena memang selama aku baca buku ini aku melakukan perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya. Atau sebaliknya juga boleh. Selama perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya aku membaca buku ini. Dan saksi soal perjalanan hati. Ralat, pengalaman batin. Ralat ralat pendewasaan. Ralat, ralat, ralat mmm.. kesadaran baru. Ya, kesadaran baru. Kesadaran akan diri dalam hubungannya dengan orang lain. Sebuah masa yang harus dilewati. Sebuah masa transisional walaupun gagal total. Ha ha… I won’t forget those moment.

It’s kinda humor book I thought. Humor yang penuh perenungan. Bukan ceritanya yang lucu. Tapi cara menceritakan. Yang itu berarti tanggapan penulis akan suatu fenomena. Cara dia mengomentari sesuatu itu menggelikan. Dan aku jadi merasa punya bakat itu juga—aku sering membaca ulang blogku dan teratawa-tawa sendiri. Penggerutu. Dia mengatakan dirinya sendiri penggerutu. Dia skeptis juga. Untuk sifat kedua ini memang ada di diriku tapi yang pertama, entahlah. he he

Gambar dari sini
Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita-Grup Miza Pustaka Utama
Tahun terbit: 2012
Tebal: 512 h, 20,5 cm
Perolehan: Dipinjami Mr.Hassdym

Ya, buku ini lucu! Aku tertawa-tawa di kereta saat pertama kali membacanya. Untung kereta bisnis. Dan sebelahku adalah temanku sendiri. Belum sampai pada cerita manapun. Baru memikirkan ide untuk mencari Negara paling bahagia saja sudah membuatku ingin tertawa. Penelitian macam apa ini?! Tapi aku tau ini serius. Karena sudah jadi buku, jadi pasti serius. Apalagi setelah membacanya. Hal ini benar-benar serius beserta fakta keseriusan yang secara aneh tetap ingin kutertawakan. 

Di sampulnya tertulis semacam penjelasan judul: Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. Tidakkah kalian rasa ini menggelikan? Ada sepuluh Negara yang dia kunjungi untuk riset ini: Belanda, Swiss, Islandia, Bhutan, Moldova, Thailand, India, Britania Raya dan Amerika (yee aku berhasil menyebutkan 9 tanpa membuka bukunya). Satunya apa ya? Ohya! Qatar. 

Pertama-tama penulis mengunjungi Belanda. Ini bisa dipahami karena ia semacam mencari kerangka berpikir dan menentukan metode penelitiannya. Disini ia menemui seorang professor peneliti kebahagiaan (aku tertawa). Professor ini memiliki WDH: World Database of Happiness (tertawa lebih kencang). Baiklah, ini serius. Eric si penulis menelusuri database tersebut. Melihat fakta2 tentang kebahagiaan. Hubungannya dengan pekerjaan, dengan kepemilikan uang, dan tentu saja dengan Geography. Dan menurut database ini Negara paling bahagia adalah Islandia dan Denmark. Penulis memaparkan beberapa teori kebahagiaan dari para filsuf dan ilmuwan yang membuatnya terkejut dan membuatku makin terkejut. Ini lebih serius dari yang kuduga. Pada akhirnya penelitian inilah yang mendasari aliran psikologi positif. Sampai disini aku tidak lagi menertawakan ide ini. Akhirnya dari sudut pandang database milik professor Ruut Veenhoven ini ia menyimpulkan. Di Belanda, kebahagiaan adalah angka. Dan di negara2 berikutnya ia melakukan penelitian, data Ruut Veenhoven selalu menjadi landasannya berpijak.

Seperti pada saat ia mengunjungi Islandia. Karena Islandia dikatakan sebagai Negara paling bahagia di WDH. Dia mengamati dan mewawancarai beberapa orang. Awalnya dia tidak habis pikir, kenapa Negara yang pagi harinya seperti malam hari (karena gelap) bisa menjadi Negara paling bahagia. Kalau dari pengamata Eric, kunci kebahagiaan di Negara ini adalah tidak adanya rasa iri, juga kebebasan setiap orang untuk gagal. Kegagalan adalah suatu yang dihargai di Negara ini. Dengan pandangan lebih umum, Negara ini seperti keluarga. Jika ada yang satu yang sakit, semua ikut merasakan. Adalah tidak masalah jika nilai inflasi Negara tersebut tinggi. Itu lebih baik ketimbang nilai pengangguran yang tinggi. Hal lain yang tak kalah membuat bahagia adalah kekayaan Bahasa. Begitu menurut Eric. Sehingga di Islandia kebahagiaan adalah kegagalan.

Di swiss. Kebahagiaan adalah kebosanan. Negara yang amat tertata ini mengalami tingkat keteraturan dan efisiensi yang sedemikian sehingga menjadi membosankan. Penulis mengasosiasikan efisiensi Swiss pada pisau tentara Swiss. Itu lhoo, pisau yang ada pisaunya, gunting, pembuka tutup botol, garpu, sendok dan sesuatu yang menyerupai manicure set he he.. Dari perbincangannya dengan beberapa orang, saat ditanya apa yang membuat mereka bahagia di Swiss, ada yang mengatakan hal itu karena kebersihan. Swiss sangat bersih, bahkan toiletnya. Yang lain berkata karena penekanan rasa iri. Di swiss menjadi mencolok adalah masalah, karena akan menimbulkan rasa iri. Mereka secara otomatis berusaha menampilkan sesuatu yang rata-rata agar tak menimbulkan rasa iri. Mereka khawatir untuk jadi menonjol. Mereka memilih rata-rata. Dan itu membosankan. Bahkan kata eric, kalaupun di swiss ada perang, maka akan jadi perang yang membosankan. Orang swiss kecanduan dengan peraturan seperti kecanduan marijuana. Di banyak bagian Swiss, anda tidak boleh memotong rumput dan mengibaskan karpet pada hari minggu, tidak boleh menggantungkan pakaian di balkon pada hari apapun dan tidak boleh menyiram toilet diatas jam 10. Tapi disini sunti mati adalah sesuatu yang legal. Ha ha.. Swiss secara konsisten menempati posisi mendekati tingkat atas piramida Negara paling bahagia.

Kebahagiaan Nasional Bruto. Sesuatu yang di Negara lain disebut Produk Nasional Bruto. Kebijakan itu ada di Bhutan. Disana kebahagiaan menjadi kebijakan Negara. Tidak peduli produktifitasnya rendah, asal bahagia. Negara para Lama (Orang bijak), negara terakhir yang mendapatkan Televisi, aliran listrik dan jalan raya, Negara yang di jalan-jalan banyak plang kayu bertuliskan “Terimakasih” entah untuk apa. Negara yang bandaranya seperti terminal, kendaraan harus berhenti jika ada anjing atau hewan lain lewat. Tapi juga Negara yang banyak dikunjungi orang asing untuk mencari ketenangan. Ya, disini kebahagiaan adalah kebijakan Negara.

Jika ada Negara yang bahagia karena uang. Mungkin itu adalah Qatar. Qatar adalah Negara yang mendadak kaya seperti habis menang lotre. Dan lotre itu adalah cadangan minyak yang tersimpan di lapisan bawah tanahnya. Tapi apakah benar mereka bahagia? Eric Weiner terbang kesana untuk memastikannya. Sesampainya disana dia kesulitan untuk menemukan orang Qatar yang sebenarnya. Supir taksi adalah orang India, buruh orang Nepal, Pramusaji orang Indonesia atau Asia Tenggara lain, pramugari terlihat seperti multi etnik, dosen orang Amerika atau Eropa. Dimana orang Qatar? Qatar memang lebih bisa dikatakan sekelompok suku yang mendirikan sebuah Negara. Dengan kekayaan melimpah dan penduduk amat sedikit (anggota dinasty kerajaan), mereka mendatangkan orang dari Negara lain untuk menjalankan negaranya. Bahkan hakim di Qatar bukan orang Qatar. Bahkan—ini yang gak susah—mereka berniat untuk membeli budaya. Karena Qatar tak punya Budaya. Pada akhirnya penulis berhasil menemui orang Qatar asli melalui bantuan temannya. Ia melakukan wawancara. Eric bertanya apakah mereka bahagia. Mereka mempertanyakan pertanyaan itu. Mengapa harus mempertanyakan kebahagiaan? Dan akhirnya mereka menjawab kalau mereka bahagia. Sambil menambahi: “Jika anda ingin mengetahui kebahagiaan sejati, anda harus menjadi Muslim”. Sebuah pernyataan yang kemudian dianalisis oleh Eric. Kaitan Antara kebahagiaan dan agama memang telah lama di bahas. Dan itu signifikan. Bukan hanya Islam. Agama lain pun demikian. Maka yang berpengaruh itu adalah keyakinan terhadap sesuatu, apapun itu. Begitu kata Eric. 

Lalu, mungkin untuk sebuah penyeimbang, Eric mencari Negara paling tidak bahagia. Dan itu adalah Moldova. Ini juga berdasarkan statistic Veenhoven. Dengan terlebih dahulu menyingkarkan Negara lain yang tidak bahagia karena perang, kemiskinan dan rezim represif. Kata Eric, bahkan namanyapun terdengar menyedihkan: Moldoooova.
“Apa kabarmu hari ini Joe?”
“Tidak begitu baik. Agak Moldooova”
Ha ha ha… ya ya.. Moldova adalah Negara pecahan Uni Soviet. Dan penduduk Moldova mengatakan ini adalah salah satu sumber ketidakbahagiaannya. Mereka mengalami kebingungan identitas. Orang Rusia mengganggap mereka orang Armenia. Orang Armenia menganggap mereka Rusia. Begitulah. Maka kebahagiaan di Moldova adalah berada di tempat lain.

Eric terbang ke Asia lagi. Kali ini Thailand. Negara yang penduduknya suka tersenyum, katanya. Dan senyum identic dengan bahagia. Walaupun pada kenyataannya ada banyak kosakata senyum di Thailand. Senyuman saya mengagumi anda, senyuman menandakan saya tidak setuju dengan anda tapi silahkan melanjutkan ide buruk anda. Senyuman sedih, dan senyuman mencoba untuk tersenyum tetapi tidak bisa. Ha ha.. Orang Thailand tidak suka berpikir. Dan mereka mengatakan berpikir itu mengurangi kebahagiaan. Mereka toleran terhadap segala sesuatu. Menganggap sebuah ketidakberuntungan jika memang harus terjadi, terjadilah. Mai pen lay. Tidak apa apa. 

Negara berikutnya adalah Britania Raya. Inggris. Negara yang penuh kesopanan dan tata karma. Di bagian Negara ini ada yang tidak terlalu bahagia. Sebuah daerah bernama Slough. Dan sebuah acara reality show dibuat dengan judul “Making Slough Happy”. 50 relawan dikumpulkan dan dikarantina. Mereka mengikuti kegiatan dan pelatihan untuk menjadi bahagia. Nanti seusai acara mereka akan di kembalikan ke lingkungan semula untuk menjadi agen kebahagiaan. Eric ingin melihat seperti apa usaha ini dilakukan. Ia menemui sutradara acara, beberapa relawan yang terlibat dan mengunjungi Slough. Slough memang menjemukan. Namun begitu, 2 orang relawan yang ia temui tampak bahagia. Dan sang sutradara mengatakan perubahan itu—merubah masyarakat menjadi bahagia—itu sangat mungkin. Jadi, kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung. Bisa diupayakan.

Dan sampailah di India. Negara yang penuh kontradiksi kata Eric. Kedamaian hati di Ashram (semacam tempat penyucian jiwa) bersanding dengan kebisingan. Gedung2 hi-tech bercampur dengan perumahan kumuh. Karyawan perusahaan TI yang juga percaya keajaiban Guru –Ji. Seorang pembantu miskin tapi bahagia. Ini semua kontradiktif. Penulis mengikuti pelatihan di Ashram selama tiga hari. Tinggal di rumah seorang seniman yang anti-asram. Berdiskusi tentang penelitiannya dengan orang2 yang datang dan pergi ke rumah itu. Berdiri di teras dan memandani rumah kumuh bercampur gedung hi-tech. Memeperhatikan gadis kecil yang mengorek sampah sambil memegang boneka kotor di tangan kirinya. Dan ini menjebol tembok kekerasan hatinya. Di India, Eric juga berhasil tidak minum caffeine selama beberapa hari. Merasa tenang dan tidak teralalu menggerutu. Padahal India begitu hiruk pikuk. India adalah pesta perjamuan untuk telinga. Semuanya bising. Merasakan ketenangan didalamnya, itu kontradiktif. Eric membenci Negara ini sekaligus mencintainya. Sebuah kontradiksi lain. 

Kembalilah ia ke Negara asalnya Amerika. Dia bercerita banyak orang di Amerika yang bepergian. Mencari tempat yang membahagiakan. Suatu tempat dianggap begitu membahagiakan, maka kemudian orang2 berbondong2 pindah kesana. Hingga lama kelamaan hal itu menjadikan tempat itu tidak lagi membahagiakan. Mereka mencari tempat lain lagi. Berpindah lagi. Sekonyong2 tempat itu penuh lagi oleh para pendatang. Begitu terus. Mulai dari daerah tropis di Miami kemudian yang baru2 ini adalah pegunungan di Carolina Utara, daerah bernama Asheville. Mereka mengatakan mereka bahagia di tempat itu. Tapi bagaimanapun ketika mereka ditanya, dimana mereka ingin meninggal dunia? Mereka akan menjawab di daerah asalnya. Jadi, di Amerika, bahagia adalah Rumah. Tempat kita selalu ingin pulang (ini kata2ku ha ha)

Yang sudah kuketik ini, sebanyak 1.1714 kata adalah baru paparan isi bukunya. Belum tanggapanku dan apa yang berkecamuk di otakku ketika membaca buku ini. Ha ha.. Seperti yang kebanyakan kulakukan pada setiap buku yang kubaca. Ini semacam membaca interaktif. He he. Reaksi terbanyak adalah di Bab pertama. Pertama kali aku membaca buku ini. Kemudian menyurut seiring dengan mendekati terselesaikannya buku. Jadi mengalami trend kritik yang menurun. Yang stabil itu sensasi humornya. 

Masing2 kita mempunyai konsep mengenai kebahagiaan kurasa. Sesederhana mungkin. Maka membaca konsep yang begini serius pasti ada letupan2 pemikiran. Untuk kasusku itu pasti. Sudah kukatakan aku menertawakan ide ini. Mereka ini segitu kurangkerjaannya ya, sampe meneliti kebahagiaan. Bahkan, look! ada profesornya, ada databasenya. Walaupun aku sampai juga di titik pemahaman, bahwa ini memang sesuatu yang layak diteleti. Hanya aku saja yang terlalu menyepelekan.

Di bab pertama penulis banyak menyebut teori kebahagiaan. Dan tentu saja alat ukurnya. Saat itu aku langsung mengukur kebahagiaanku. Dari skala 1-100 aku 80an lah ya.. Ya aku bahagia sekali malam ini. Di perjalanan, dalam kereta, membaca buku bagus, berdiskusi dengan teman, smsan ha ha.. Aku bahagia. Tapi segera mengalami rasionalisasi. Aku sms temanku dan menanyakan tingkat kebahagiaannya. Katanya dibawah 50. Dikit banget.. kataku. Kemudian aku merenung. Dan saat itu juga tingkat kebahagiaanku turun mungkin sampai dibawah 50 juga. Kemudian, kata penulisnya: Manusia adalah makhluk lima menit terakhir. Dalam satu penelitian, orang yang menemukan koin sepuluh sen di trotoar lima menit sebelum diberi pertanyaan mengenai kebahagiaan melaporkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dengan keseluruhan kehidupan mereka dari pada mereka yang tidak menemukan koin sepuluh sen. Kesindir dong gue!!

Kemudian teringat suatu hal. Sebuah eksperimen. Suatu kali. Aku pernah ikut pelatihan. Pelatihan bisnis untuk para pegiat UKM sebenarnya. Tapi disitu salah satu trainer melakukan sebuah uji coba sederhana. Peserta diminta berpasangan dengan orang sebelahnya. Berhadap2an. Mereka diminta memjamkan mata dan bersalaman. Salah satu dari pasangan itu diminta membayangkan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya. Sesuatu yang indah dan tak terlupakan. Setelah sekian waktu, mereka yang bersalaman ini suit. Hampir bisa dipastikan yang menang adalah yang tadi membayangkan peristiwa bahagia dalam hidupnya. Percobaan ini juga bisa diubah menjadi membayangkan yang buruk. Atau janjian untuk seri (tidak ada yang kalah atau menang) saat suit tanpa berkomunikasi. Dan banyak yang berhasil. Untuk percobaan yang terakhir itu lebih membuktikan adanya kekuatan telepati ketimbang kekuatan kebahagiaan. Aku ingin mencobanya saat itu juga di dalam kereta. Tapi sama siapa? Jadinya aku tidur saja. He he..

Selain tentang eksperimen diatas, hal lain yang kupikirkan saat baru membaca Bab 1 buku ini adalah: Bahagia dalam Islam itu seperti apa ya? Apakah itu menjadi sebuah tujuan yang harus diwujudkan dalam ajaran Islam? Apakah ada do’a memohon kebahagiaan. Karena pengetahuan kurang, aku sms temanku yang kuliah di UIN jurusan sastra Arab. Pertama2 aku Tanya Bahasa Arabnya bahagia itu apa?. Dengan begitu aku bisa tau apakah diantara do’a2 yang selama ini kuketahui ada kosakata bahagianya. Temanku menjawab: Sahaada. Dan ajaibnya, di beberapa lembar berikutnya, masih di bab 1 si penulis menyebut beberapa kosakata bahagia dalam berbagai Bahasa termasuk Bahasa Arab. Ha ha..

Aku mengingat-ingat, apakah ada kosakata itu dalam do’a2 berbahasa arab. Aku sulit menemukannya. Yang sering muncul dalam do’a umat muslim adalah keselamatan dan keberkahan. Kemudian aku sms lagi untuk memastikan. Bertanya, apakah ada do’a dalam Bahasa Arab yang ada kalimat sahaada-nya yang berarti meminta kebahagiaan. Temanku mau bertanya pada temannya yang lain karena dia sendiri tidak begitu paham. Disini artinya, kalaupun ada do’a seperti itu, itu jarang digunakan. Karena bahkan temankupun susah untuk menemukannya dalam ingatannya. Padahal aku yakin dia sering berdo’a. Sampai besoknya tidak ada jawaban. Aku jadi curiga. Jangan2 memang tidak ada. 

Do’a adalah harapan. Do’a adalah keinginan. Sesuatu yang kita niatkan. Semua agama punya do’a. Semua yang meyakini ada kekuatan mahadahsyat di dunia ini pasti pernah berdo’a. Dan kalau di dalam Islam, do’a adalah senjata kaum mukmin. Pemahaman yang baru2 ini kusadari, do’a adalah keyakinan itu sendiri. Keyakinan bahwa ada kekuatan Allah yang bisa membuat segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin dan sebagainya. Seseorang yang punya keyakinan ini tidak akan pernah putus asa. Betapapun terhimpitnya, betapapun tak berdayanya. 

Karena do’a itu harapan atau keinginan. Ia sering diucapkan untuk mendapatkan tujuan2. Jika bahagia adalah keinginan dan tujuan yang penting untuk dicapai. Maka seharusnya ada do’anya. Aku tidak tau di agama lain. Tapi di Islam, ternyata itu bukan kata yang familiar dalam do’a.

Kita memang bisa berdo’a apa saja pada Allah. Dan itu tidak harus menggunakan Bahasa Arab. Tapi, kalau kita menjunjung tinggi sunnah—dan itu merupakan keutamaan muslim—maka ada baiknya berdo’a menggunakan do’a yang diajarkan oleh RasulAllah. Banyak buku2 do’a yang sesuai tuntunan Nabi. Beberapa sering dibaca bersama setelah sholat oleh imam dan jama’ah. Ada do’a2 yang sifatnya pengiring kegiatan sehari-hari. Ada yang digunaka setiap saat. Salah satunya yang umum ucapan adalah Tazmiah: Bismillahhirrohmaanirrohim. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ini kalau dilihat secara arti ndak ada permohonannya. Hanya menyertakan Allah dalam apa yang akan dikerjakan. Kalau sudah menyertakan Allah ya jadi tidak boleh berdusta, harus mengupayakan yang terbaik dan segala tindakan positive lain. Serta tentu saja meninggalkan tindakan negative atau merugikan. Nah lo!

Do’a yang menyertai kegiatan sehari-hari secara umum adalah penyertaan Allah seperti diatas, permohonan keselamatan dan perlindungan, dan ucapan syukur. Bersyukur dibangunkan setelah tidur, bersyukur diberikan rezeki, dan lain-lain. Selain itu, yang sering muncul adalah Barokah. Salah satunya dalam ucapan salam. Assalamu’alaikum warohmatullahhi wa barokaatuh. Kurang lebih artinya: Semoga keselamatan menyertaimu, dan semoga kamu mendapatkan rahmat dari Allah juga keberkahan (barokah).

Orang Kristen ku dengar sering juga berkata: semoga Tuhan memberkati. Yang dalam Bahasa inggris God Bless You. Bless=keberkahan. Bliss=kebahagiaan (sebuah kosakata yang baru kuketahui saat baca buku ini).

Apa itu Berkah/Barokah? Perlu belajar di sub sub sub sub Bahasa Arab untuk bisa menafsirkan arti kata Bahasa Arab. Dan aku belum pernah membaca salah satu diantara pendapat para cendikiawan tentang arti kata itu. Satu2nya yang mudah2an bisa mewakili adalah yang pernah kubaca di salah satu buku tentang pernikahan (heuheu..). Aku lupa. Antara buku Barakallahhulaka-Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A.Fillah atau Kupinang Engkau dengan Hamdalah milik Faudil Azhim. Kurang lebih begini:

Salah satu tujuan menikah adalah Barokah. Seperti yang termaktub dalam do’a RasulAllah pada pernikahan Ali dan Fatimah. Barokallahhulakuma wa baroka ‘alaikuma, wajama’a bainakuma fii khoi (jadi bukan: wish u happily ever after).  Apa itu barokah? Penulisnya memberi contoh. Ada seorang lelaki. Menggunakan kaos oblong dan sandal jepit. Ia sedang membeli pecel lele di sebuah warung tenda. Beberapa lembar uang kumal dia keluarkan dari sakunya. Hujan turun. Dia tidak membawa payung atau mantel. Karena takut bungkusan makanan basah walaupun sudah dilapisi keresek, ia masukkan ke dalam kaos oblongnya. Bersiap berlari menembus hujan. (terus pas aku nulis paragraph ini temanku muter MP3 marry u’r daughter-nya Brian Mc. Night. heuuu pengen jitak)

Pertanyaannya, apakah dia tampak bahagia? Sepertinya sama sekali tidak, bahkan sepertinya menyedihkan. Dia malang sekali sepertinya. Tapi taukah anda. Lelaki itu saat membeli pecel lele, dalam pikirannya terbayang istrinya yang sudah menunggunya di rumah, dan betapa bahagianya dia nanti mengetahui suaminya pulang membawa bungkusan pecel lele. Dia akan disambut dengan senyuman terindah.. dia akan sangat bahagia melihat istrinya bahagia. 

Begitulah barokah. Sebuah perasaan yang lebih dari bahagia. T-T

Heuuu.. beneran, aku nggak bisa nyimpulinnya. Pokoknya gitu deh. Barokah itu bahkan ketika kondisi sesulit apapun kita tetap bisa merasakan ketenangan. Kita yakin bahwa apa yang terjadi ini adalah episode takdir yang harus dijalani dengan sepenuh ikhlas. Ketenangan itu sendiri muncul sebab rasa aman. Baik dari kesalahan manusiawi maupun dari ketidakridhoan Allah. Baiklah, sampai disini aku jadi tercenung. Krik krik krik.. aku gimana?

Balik lagi ke soal bukunya dan juga pendapatku—dan mungkin pendapat orang lain. Kebahagiaan memang mempunyai pengaruh besar dalam kualitas hidup. Contohnya sederhananya seperti eksperimen yang kuceritakan. Dan aku juga merasakan. Saat kita tidak sedang bahagia, rasanya semuanya kacau. Ada awan mendung yang melingkupi kepala kita. Kalau ketidakbahagiaan itu ada setiap hari bahkan memang jadi ciri suatu daerah, seperti di Moldova misalnya. Hidup begitu mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan.

Namun, meski demikian kebahagiaan bukanlah suatu tujuan hidup. Bukan cita2 tertinggi. Seperti yang dikatakan Guru-Ji seorang Guru India saat ditanya oleh Eric.
“Apakah kebahagiaan itu cita2 tertinggi? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita kejar?”
Guru-ji menjawab. “Ya, ada sesuatu yang lebih tinggi daripada kebahagiaan. Cinta lebih tinggi daripada kebahagiaan”

Kalau si Eric Tanya sama aku—dan mungkin juga oranglain. Jawabanku adalah keberkahan. Atau kalau Tanya sama Hasan Al-Banna dan pengikutnya, jawabannya adalah: mati di jalan Allah. Dan Eric bisa dipastikan langsung bergidik, dan mengganggap mereka teroris. He he..

Huffffftthh,, aku jadi mikir—dan ini diperkuat saat membaca bab soal Amerika. Mereka itu, yang tidak punya agama itu memang bingung sama hidupnya sendiri ya?. Membingungkan hal-hal sederhana seperti itu. Dan kebalikannya, kita ini membingungkan hal2 yang menurut mereka sederhana. Bagaimana menciptakan produktivitas yang tinggi. Bagaimana mengelola sumber daya alam ini. Bagaiamana menciptakan produk elektronik canggih. Ha ha.. Sekali lagi jadi inget, sebenarnya apa yang benar2 bisa membedakan konstruk berpikir barat dan timur semacam ini. Orang timur yang penuh nilai spiritual dan barat yang penuh nilai capital. Seperti yang pernah kutulis di sini.

Anehnya lagi. Hal2 yang kita anggap sangat sederhana itu bisa mereka teliti dan cari dengan sangat serius. Bahkan dalam jangka waktu tertentu bisa jadi disiplin ilmu yang dipelajari di uneversitas2. Diyakini sebagai sebuah kebenaran. Padahal berangkat dari ketidakyakinan. Ruut Veenhoven, professor kebahagiaan itu dewasa ini berada di garis depan bidang yang menghasilkan ratusan makalah riset setiap tahunnya. Juga diselenggarakan konferensi kebahagiaan dan Journal Of Happiness Studies (yang disunting Veenhoven). Mahasiswa di Claremont Graduate University di California sekarang dapat memperoleh gelar M.A atau Ph.D dalam psikologi positif—dalam kebahagiaan.

Aku membayangkan, suatu kali sambil mencuci di kamar mandi berpikir tentang dampak keajaiban kutukan/sumpah. Bagaiamana sebuah kutukan dapat benar2 terwujud. Dan kemudian itu menjadi suatu kajian linguistic sedikit mistic. Ha ha..

Ya ya ya.. aku pikir, kadang manusia itu menjadikan manusia sebagai objek penelitian dengan mengesampingkan fakta kalau mereka juga manusia. Penulisnya pun kurang lebih berpendapat sama tentang hal itu. Tentang WDH. Tentang Veenhoven. Bahwa disini di penelitian tentang kebahagiaan ini ia berperan sebagai wasit. Wasit yang netral. Seolah2 dia tidak punya perasaan dan subyektifitas. Tapi di sisi lain, aku juga sadar aku pernah mempunyai pertanyaan serupa tapi bukan tentang kebahagiaan. Setidaknya buka kebahagiaan individu.

Pekerjaanku—dan memang minatku—adalah pemberdayaan masyarakat. Meski ini adalah upaya untuk menolong orang lain agar bisa menolong diri sendiri atau give power to powerless, bisa dipastikan ada intervensi disana. Pekerjaanku adalah mengintervensi orang seolah-olah mereka memang butuh intervensi itu. Aku pernah sangat pusing dengan hal ini. Tujuannya kan selama ini untuk kesejahteraan masyarakat. Memang masyarakat yang sejahtera itu seperti apa? Pusing ya?

Seperti kata Butet Manurung di buku Sokola Rimba. Manusia itu kadang sok tau apa yang baik buat manusia lain. Itu pendapatnya tentang beberapa intervensi LSM dan pemerintah pada orang rimba. Padahal menurutnya mereka baik2 saja. Dan mereka memag akan tetap baik2 saja selama ada hutan. Mereka tidak butuh baju, rumah permanen dll. Ini Cuma contoh pendapat lain mengenai intervensi manusia pada manusia lain. Walaupun kalau dipikiranku pendapat Butet agak kontradiktif.

Hah, satu hal yang tiba2 muncul ketika aku hampir menutup buku ini. Terstimulus oleh kata2 Guru-ji tentang yang lebih baik dari kebahagiaan yaitu cinta. Entah ini sudah pernah dipikirkan orang lain atau belum.
Cinta itu tak pernah selesai didefinisikan. Namun begitu, cinta juga selalu bisa jadi jawaban atas pertanyaan yang paling membingungkan. Ha ha.. Cobalah :)

Selasa, 14 Januari 2014

Parikel - partikel



Judul: Partikel (Supernova 4)
Penulis: Dee (Dewi Lestari)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2012
Tebal: 500 hlm, 2 cm
Perolehan: Pinjem my beloved sister

Agak berat sebenarnya untuk menulis review kali ini. Pakai laptop. Kalaupun ada yang tak tertahan, sebaiknya aku menulis di kertas dulu, pikirku sebelumnya. Rasa puyeng akibat flu dan beberapa symptom lainnya: Hidung tersumbat, bersin2, demam, batuk dan tenggorokan sakit, membuatku menghindari benda yang terasa begitu menyilaukan mata ini. Membuat lebih puyeng lagi. Tapi seusatu di penutup buku ini menggerakanku. 

Yah, ini adalah seri ke-4 Supernova karya Dee. PARTIKEL. Aku akan mulai dari belakang. Sesuatu yang menggerakkanku tadi. Sebuah catatan dari penulis. Ada 4 ½ halaman. Bercerita proses kelahiran “Partikel” dari Rahim imajiner yang ia sebut “batcave”. Ucapan terimakasih penulis pada orang2 yang membantu dan mendukung serta penulis2 yang menjadi rujukannya dalam menulis novel ini (yang selama membaca buku ini aku pun terus bertanya: “Dee ini baca buku apa aja sih”? ha ha). Terakhir, ia berterimakasih kepada pihak lain yang itu entah apa. Ini yang membuatku manggut2. Begini katanya:

Ada satu pihak yang perlu saya sebutkan, yang entah sayakah yang harus berterimakasih kepadanya atau sebaliknya. Dua belas tahun lalu, saya mengirimkan sebuah niatan kepada semesta, kepada matriks kehidupan, apa pun sebutannya, bahwa saya ingin menuliskan buku tentang penelusuran spiritual. Dan lahirlah manuskrip supernova yang pertama. Dalam proses kreatif menuliskan supernova, saya menyadari satu hal yang kemudian mengubah persepsi saya selamanya terhadap inspirasi.


Inspirasi akan memilih inangnya. Seperti jodoh, ketika bertemu dan pas, terjadilah perkawinan, dan muncullah entitas baru. Sebuah inspirasi memilih saya sebagai inangnya, dan lahirlah entitas berbentuk novel serial yang berjudul supernova. Kekuatan yang sama membimbing saya untuk menulis episode demi episode dalam dinamika relasi yang kerap membuat saya bertanya: siapa menulis siapa?


Sampai disini aku ingat reviewku di Supernova seri 1: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. He he.. entahlah, dari awal aku tau, novel ini bukan novel biasa. Selanjutnya, masih di catatan penulisnya di halaman belakang, katanya:

Masih ada pihak lain dalam konstelasi ini yang juga perlu saya sebut dan saya ucapkan terimakasih. Anda semua, para pembaca. Terimakasih atas kesabaran Anda menanti. Terimakasih atas ketertarikan anda pada buku ini. Sebagai seseorang yang percaya pada sinkronisitas, saya meyakini hadirnya buku ini di tangan anda bukanlah kebetulan. Buku ini dan anda bertemu untuk sebuah tujuan. Entah apa. Waktu yang akan mengungkap.

Sampai bertemu di episode berikutnya,

D.

Dan dari buku ini pula kuketahui judul untuk seri berikutnya adalah: Gelombang dan Intelegensia Embun Pagi.

Ya. Everything happens with a reason. Dan bertemu sebuah buku juga ada maksudnya. Seperti halnya bertemu dengan seseorang. Sesuatu, sebatang, sebuah, seonggok dan lain-lain.

Isi cerita buku ini adalah tentang Zarah. Seorang anak perempuan yang dibesarkan secara tidak biasa oleh Ayahnya Firas. Ayahnya gandrung dengan alam. Dengan science, terutama biologi, terutama botani, terutama jamur. Dia memandang alam sebagai entitas hidup. Sama dengan manusia. Dalam cerita selanjutnya dikisahkan, bahkan ia meneliti dan berinteraksi dengan alam lain yang spectrum gelombang dan frekuensinya beda dengan yang selama ini disadari manusia pada umumnya. Bertemu dengan makhluk-makhluk lain dst. Pandangannya ini membuat ia dianggap aneh. Oleh kampus tempatnya mengajar, oleh masyarakat tempatnya mengabdi bahkan oleh keluarganya. Yang terdekat sekalipun. Kecuali Zarah yang menganggap Ayahnya seperti Dewa. Selanjutnya Ayahnya tiba2 hilang. Begitu saja. Meninggalkan kepada zarah catatan2 jurnal penelitiannya selama ini.

Kepergian Ayahnya mengguncang hebat kehidupan keluarganya—yang sebenarnya sudah mulai retak selama Ayahnya mulai meniliti ttg alam lain itu. Zarah dalam hal ini tetap mempertahankan kepercayaan pada Ayahnya dan akan terus berusaha mencarinya. Dengan segala keyakinan kepada Ayahnya—yang juga berarti keyakinan kepada apapun yang disampaikan Ayahnya—Zarah menghadapi pertentangan dari pihak keluarga. Selanjutnya ia memutuskan untuk hidup independen. Nomad. Tetap dengan misi mencari Ayahnya, ia jalani pencariannya yang seperti pelarian dari realitas hidupnya. 

Dari tinggal di saung milik Ayahnya di desa dampingannya, tinggal di rumah paggung milik Abahnya (kakek), mengabdi di Tanjung Putting, tempat konservasi orangutan sampai pergi ke London. Di London lah ia bertemua pekerjaan, sahabat dan cinta juga pencariannya. Juga pengkhinatan dari sahabat dan cinta-nya. Lewat bantuan Paul, bossnya dan petunjuk berupa kamera Nikon FM/2T Zarah berhasil bertemu seseorang yang mengenal Ayahnya, Simon Hardiman. Lewat bantuannya dan temannya lagi (seorang Shamman), Zarah berhasil menyebrang ke dimensi lain. Tapi bukan Ayahnya yang ia temukan melainka Abahnya. Di pertemuan itu mereka saling memaafkan kesalahan masalalu dan mengobati. Selesai terapi, lewat telephone dengan adiknya, Hara, Zarah mengetahui kalau baru saja Abahnya itu meninggal karena serangan jantung mendadak. Saat itu juga Zarah memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Cerita selesai. Pada keping itu. 

Oya, salah satu petunjuk untuk menemukan Ayahnya adalah jurnal Ayahnya. Waktu Zarah memutuskan untuk pergi dari rumah orangtuanya itu adalah karena momen jurnal Ayahnya dibakar oleh Ibunya. Zarah kalap. Dan minggat. Kemudian di akhir cerita, lewat Simon Hardiman-lah ia tau Ayahnya telah menggandakan jurnal2 itu dan mengirimkannya kepada temannya itu. Zarah seperti menemukan petunjuk lagi. Ditambah satu petunjuk lain yang entah ditulis oleh siapa. Isinya tentang misi yang juga absurd. Yang ini menurutku merupakan benang merah yang akan menghubungkan, Diva (aku tak yakin ini diva, tapi kemungkinan besar memang dia) yang ada di seri 1 supernova, Bodhi (Seri 2: Akar) dan Elektra (Seri 3: Petir) entah untuk apa. 

Dan di bab terakhir yang dikisahkan oleh penulis/sudut pandang orang ketiga (karena dari awal ceritanya sudut pandang orang pertama) diceritakan pertemuan Bodhi dan Elektra. Pertemuan alam 3 dimensi. Dan pertemuan alam dimensi lain. he he..

Well, yang benar2 membuatku deep thinking itu ya sekali lagi kata2 dari penulis yang kukutip di awal. Aku jadi merekonstruksi kejadian2 dalam hidupku yang membuatku lebih sadar akan entitas diri, manusia, alam (yang ini belum terlalu tereksplorasi) dan Pencipta ini semua: Allah. Aku mencoba mengingat-ingat, apakah buku ini ikut andil? (supernova jilid 1). Dan inilah untungnya aku membuat catatan tentang buku yang kubaca. Dan setelah kucek, mungkin memang ada pengaruhnya tapi bukan yang utama. Bukan yang menjadi pondasi utama konstruk berpikirku. Aku mengalaminya sendiri, meski tidak dengan peristiwa atau momentum dahsyat dan mengguncang. He he.. 

Bersamaan dengan kesadaran, ada kepekaan, keyakinan dan intuisi. Firasat, penyampaian pesan lewat gelombang tanpa alat bantu (telepati), dan insting. Cuma buat meyakinkan diri sendiri aja sih, aku jadi inget, 1 ½ bulan yang lalu aku jadi tabib dadakan (karena tidak bisa disebut medis). Waktu itu kegiatan perploncoan relawan baru di oraganisasi yang kuikuti. Mulai dari yang memar parah karena keseleo, sakit gusi, sampe hipotermi. Pakai 30 % persen pengetahuan medis acakadut waktu kuliah dan baca buku. Sisanya insting. Wahahaha.. dan aku tak percaya hasilnya signifikan. Syukurlah. Belum lagi pengalaman memasak (yang sangat spiritual menurutku). Bertemu dengan beberapa buku. Juga bertemu dengan bebrapa orang. Akhir2 ini.

Pada akhirnya semua bergantung pada keyakinan kita. Dan aku bersyukur akan iman yang masih dan semoga terus tertanam ini. Pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhir dan Qodo dan Qodar.

Alif laaaaaam miim. Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Petunujuk bagi orang2 yang bertaqwa. Yaitu orang2 yang beriman pada yang gaib, yang mendirikan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka…

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat petunjuk bagi orang2 yang berpikir.

Kemudian aku berkata pada diri sendiri: Hai virus influenza, kamu jenis apa? Aku curiga kamu nyangkut di saluran hidung tenggorokanku gara2 kemarin aku minum pop ice rasa strawberry. Atau karena aku berbagi sedotannya sama ponakanku yang emang pilek nggak sembuh2? He he.. kita damai yak? Karena besok aku harus membereskan pekerjaanku, sebelum kutinggal untuk plesir lagi. He he..

Minggu, 12 Januari 2014

How to Get Books in Jogjakerdah #1

Salah satu yang bedain Jogja sama kota lain ituuu, semua hal disini terjangkau. Bukan hanya soal harga, tapi soal jarak dan keterjangakauan sosial. Ribet jelasinnya, tapi simpelnya gini, kalau aku mau ke mall di Surabaya itu secara otomatis akan mikir "bajuku ancur nggak ya"? kalau di Jogja mah kagak. Walaupun buktinya di Surabaya aku juga tetep ancur ha ha.. tapi seenggaknya nggak kepikiran.

Jadi, dua hari di Jogja itu kita bisa ngapain aja. Kemarin, aku nge-date sama adekku. Ke toko buku. Dan sepertinya kita sepakat, the most cozy and homy bookstore in this country is: Togamas Afandy. Sebelumnya kita juga sempet ke TB. Amalia yan sederhana. Tapi ya sekecil-kecilnya toko buku itu nggak bisa diabaikan. Dalam perjalanan aku kepikiran untuk membagi cerita tentang "How to Get Book in Jogjakerdah". Dari yang beli, minjem pake uang dan minjem gretongan. Cekidot!

Toko buku. 
1. Gramedia Bookstore. 
Kayaknya ni toko buku udah mainstream banget ya, sampe aku juga merasa wajib menaruhnya di nomor satu. he he.. Kalau di Jogja letaknya ada di Jl. Jend. Sudirman. Orang jogja aseli juga mungkin akan berkerut denger alamat ini. Kalau ditanya Gramedia dimana, mungkin jawabannya adalah di pojokan perempatan Gramedia itu lho.. ha ha.. Entah sejak kapan dia berdiri disitu, sampe perempatannya dikenal "perempatan Gramedia". Pokoknya kalau dari arah Selatan, orang akan mengarahkan anda ke Jl. Solo, sampai RS. Bethesda belok kiri, ketemu perempatan, ya itu perempatan Gramedia, yang di salah satu pojokannya ada Gramedianya. Dari arah Timur juga patokannya Jl. Solo. Dari arah Utara, bunderan UGM lurus ke selatan ketemu perempatan, ya itu perempatan Gramedia. Kalau dari arah Barat, tugu jogja lurus, sampe perempatan, tengok kanan, itu udah Gramedia. 

Karena toko buku ini mainstream, isinya yaa,, kurang lebih sama dengan Gramedia yang ada di kota2 lain. Tapi gerai buku diskonan up to 40% entah ada atau enggak. Seingatku di Surabaya nggak ada. Jadi kalau ke Gramedia ini, aku memang masuk ke dalem buat liat2 buku koleksi terbaru, tapi beli bukunya yang diluar gedung. Yang diskonan. Dan tak jarang disana bisa nemu buku keren. FYI, Ayat2 cinta udah masuk ke gerai ini sejak sekitar 3 tahun yang lalu. Adekku beli Sang Penandai-Tere Liye di sini (gerai diskonan), dan sekarang Sang Penandai masuk lagi ke jejeran buku di dalam gedung Gramedia lagi with new look.

Gramedia ini kemungkinan menyetok barang dalam jumlah besar. Buktinya, buku2 yang udah di filmkan disini masih tersedia cover versi ori (sblm di filmkan). Kayak 99 Cahaya di Langit Eropa, 5 cm, tetralogi Laskar Pelangi dan mungkin masih ada lagi. Bahkan bloknote yang kuincar entah dari taun kapan, hari ini aku menemukannya. Sudah tersingkir di Rak yang lain. Dia digantikan dengan bloknote dan agenda terbaru 2014.

2. Togamas Affandi/Gejayan
Afandi, tau kan? pelukis cat minyak itu namanya dijadikan nama baru buat jalan yang dulu bernama Gejayan. Togamas ini letaknya ada di ujung sebelah utara Jl. Afandi. Atau di perempatan condongcatur yang juga merupakan jalur lingkar Utara. Karena letaknya di timur jalan, dan pas dipojokan perempatan lampu merah. Sementara ada rambu dilarang putar balik. Maka kalau mau kesana dari arah selatan harus lurus dulu sampai terminal condong catur. Putar balik. Ketemu lampu merah lagi, baru deh bisa belok kiri masuk ke toko. 

Seperti yang kubilang tadi. Toko buku milik Tung Desem Waringin ini very very cozy and homy. Look at this:
Bukunya full ada di bawah. Penataannya bagus. Ada komputer untuk trace buku yang kita cari. ada kursi2 kayu di pinggir kolam ikan. Ikannya, ikan emas segede-gede lengan pria dewasa. Kuhitung ada 4. Warna hitam yang paling gede. Yang putih bintik2 hitam, merah, oranye tertangkap mata oleh adekku sedang memangsa ikan kecil. Sisanya kombinasi putih oranye dan satunya lagi full oranye. Kolamnya ada air terjun buatan kecil. Dan dipinggirnya ada patung, petruk, semar dan Buddha (kok jadi ngomongin kolam!). Playlist music latarnya nggak kalah cozy: Ten2Five, Dee-Album Rectoverso dll. Dengan suasana itu jadinya aku sama adekku malah curhat ha ha.. Sebenarnya juga karena putus asa. Buku yang kucari tak ada di rak dan di daftar koleksi di komputer.

Toko ini punya lantai 2 yang terbuat dari kayu. Disana meja dan kursi kayu ditata layaknya cafe. Lampu gantung diatasnya. Sepertinya wifi. Aku belum pernah naik kesana, sepertinya harus pesan, dan aku takut harganya, ha ha.. Oya, toko buku ini sering dijadikan lokasi meet and great penulis dengan penggemarnya, atau bahkan pemain film based on book. Aku pernah ikut soalnya. Ketemu Vino G. Bastian dan Laura Basuki yang lagi promo film Madre-Dee. Dan sesuai dengan uraian TDW di buku marketingnya, parkiran toko buku ini gratis. Juga diskon selamanya untuk semua buku: 15%.

3. Togamas Suroto
Ini juga nama jalan yang agak kurang terkenal. Orang lebih mengenalnya Kotabaru. Atau belakang gedung Telkom. Atau depan Perpusda. Jadi jalan Suroto ini surga buku. Togamas baru berdiri disini sekitan 1 atau 2 tahun. Ingat toko buku Gramedia yang kubilang di pojokan perempatan itu. Nah, lajur jalan di sebelah Timurnya kearah Selatan itulah jalan suroto. Dibelakang Gramedia itu ada Tourism Information centre, sebelahnya ada Perpusda (yg nanti akan kuceritakan cozy-nya), nah menyebrang dari perpusda agak melenceng sedikit, disitu ada Togamas. Tatanan Togamas yang ini juga apik. Sederhana dan homy. Tak ada tempat duduk kursi, tapi kolam dengan ikan emasnya ada. Kalau mau duduk2, ada kedai kopi di luar. Memanjang di pinggir tembok. Kursi-meja kayu, wifi dan tulisan menu kopi ditulis pakai kapur di blackboard. Tapi kalau disini parkirnya bayar. Berita gembiranya, bagi pelanggan Larisa (Salon kecantikan) atau Perpusda akan mendapat diskon tambahan.

Dengan berjalan kaki sebentar, sejajar dengan Togamas ada Kompas Gramedia yang di halamannya sering menggelar bazar buku Kompas Gramedia. Dan masih di dalam kompleks Kompas Gramedia ada semacam balai pertunjukan kesenian (namanya lupa!). Disitu sering digelar pameran lukisan, musik antimainstream indie, teater juga pernah kayaknya. Sebrang KG ada kedai Ice Cream yang tampak manis. Tapi aku juga nggak berani mampir ha ha.. Di ujung Selatan jalan suroto, sebelah timur ada gedung Telkom. Sebelah barat ada SMA 4 (Padmanaba) yang konon buat syuting sintron Galih dan Ratna. Ini memang salah satu sekolah paporit di Jogja. Kalau sudah sampai situ kamu akan menemukan dinding melingkar: Stadion Kridosono. Dibalik stadion itu: Stasiun Lempuyangan. Di depan Stasiun: Kampung Bapakku. ha ha..

4. Social Agency
Ini toko buku Bapakku. Kalau ke Jogja dan mau cari buku, beliau minta diantar kesini. Setauku di Jogja ada lebih dari 2 cabang. Tapi yang selain 2 itu, aku tidak yakin ada dimana. Yang kutau pasti, pertama ada di Sagan, atau Jl. Prof. Herman Yohanes. Jalan menuju Lembah UGM. Belakang Galeria Mall. Galeria Mall ini ada di depan RS. Bethesda (yang kalau ke barat sedikit sudah ketemu sama Gramedia, Look! betapa Jogja itu kecil. Semuanya berdekatan. dan terjangkau).

Social Agency satunya ada di Jl. Godean. Ini daerah yang agak pinggiran dari jantung kota Jogja. Tapi menurutku tetap strategis. Karena jalan ini ramai. Jalur menuju Kulon progo atau lebih jauh lagi Purworejo.

Toko buku ini juga toko buku diskon. Bahkan sampai 30 % untuk beberapa buku. Koleksinya lebih banyak ketimbang Togamas. Kamu bisa menemukan buku2 lama disini. Oya, kalau nggak salah juga gratis sampul plastik untuk setiap buku yang dibeli.

5. Soping
Aku bingung mengeja namanya. Tapi sebenarnya adalah Shoping (belanja). Tapi ini adalah nama lokasi, jadi kueja Soping saja. Tentang sejarah nama itu aku tidak tau. Yang pasti, lokasinya ada di seputaran wisata belanja Malioboro. Bangunannya agak tergabung dengan Taman Pintar yang ada di belakang Beteng Vedenburg. Disebelah Soping ini ada Taman Budaya tempat pagelaran seni macam2 dihelat. Soping itu gabungan kios2 buku. Surganya mahasiswa. Mahasiswa bisa dapet apa aja disini. Makalah, TA, Skripsi, Thesis.. semua ada. Buku kesehatan (terutama kedokteran) yang harganya nggak nguatin itu bisa jadi murah disini (bajakan pastinya). Buku bajakan populer lain juga banyak. Bisa 1/4 harga. Buku asli bekas banyak. Majalah tahun penjajahan ada juga. Kitab2 nggak kalah bertaburan. Kalau kamu mencari dan nggak ketemu, bisa request penjualnya untuk dicarikan. Penjualnya juga bisa diajak kerjasama untuk menjadikanmu agen marketing di kampusmu. Cincai laah..

6. TB. Amalia
Ini dia toko buku sederhana yang tadi kuceritakan. Tempatnya cuma sepetak ruangan seukuran kurang lebih 5x4 m. Dia lebih mirip distributor. Distributor yang membuka gudangnya untuk pengunjung. Toko ini menjual buku berdasarkan penerbit. Khususnya penerbit2 buku Islam, meski juga ada buku2 kuliahan: Filsafat, statistik, management, kesehatan-kedokteran. Diskon bukunya 30%. Ini surganya penggemar Hasan Al-Banna dan kawan2nya he he...

Sepertinya ia melayani pembelian partai besar dengan harga kerjasama. Rekan kerjaku di Jogja sering memborong Al-Qur'an untuk disalurkan. Letaknya ada di jalan Juminahan. Emmmm agak susah ditemukan dan dideskripsikan. Jadi, liat peta aja.

7. Kios buku Gondomanan
Tau lagu Di Sayyidan-Shaggy Dog? Nah, Gondomanan itu ya, Jembatan Sayidan belok kiri. Di Barat jalan berjajar kios buku. Banyak buku bekas yang masih bernilai disana. Ada satu langganan adekku yang ia tau karena ia langganan temannya. Pak Tua, adekku menyebutnya. Untuk menaksir harga sebuah buku ia hanya akan meraba-rabanya, mengira2 dan kemudian menyebutkan harga. Dia ini mengalami penurunan penglihatan parah. Aku pernah beli buku bekas sistem informasi disitu. Adekku pernah membelikan Al-Qur'an bekas buat temannya.

8. Kios buku Terban
Ada di gang samping kampus FH UII yang lama. Yang di Jl. Sudirman (perempatan Gramedia). Atau bisa juga patokannya, Jogja Phone Market Sudirman. Kios buku itu ada di belakangnya.

Cerita bersambung. Aku mau berangkat ke Surabaya :)

Jumat, 10 Januari 2014

Another sotoy comment buat Lontara Rindu

Source gambar
Judul: Lontara Rindu
Penulis: Gegge Mapangewa
Penerbit: Republika
Perolehan: Dipinjami temannya Go Ku draGom Bal

Novel ini bercerita tentang seorang anak bernama Vito yang bayangan tentang Ayah dan saudara kembarnya begitu samar2. Ia masih belum sekolah ketika Ayah dan saudara kembarnya Vino pergi. Terlalu banyak pertanyaan tentang kedua orang yang ia sayangi itu. Namun begitu ia tidak tau mereka dimana. Bahkan hanya untuk sekedar mencari informasi ttg mereka ia pun tak bisa. Mama dan Kakeknya selalu menghindar jika disinggung sedikit tentang Ayahnya. Usianya saat dalam cerita ini adalah berkisar 13-14 tahun (Kelas 1 SMP).

Suatu kali ada kejadian di Sekolah yang membuatnya tertekan. Vito yang periang dan suka bercerita berubah menjadi pendiam. Dalam momen puncak saat ia tertekan itu, ia bahkan semakin merindukan Ayah dan saudara kembarnya. Hingga suatu hari ia bertemu dengan Pak Saleng, makelar ternak yang dulu pernah berteman dengan Ayahnya. Darinya akhirnya Vito tau, Ayahnya dan saudara kembarnya pernah bekerja di Kalimantan. Selang beberapa waktu, Mamanya akhirnya juga membuka mulut tentang keberadaan Ayahnya.

Singkat cerita, Vito akhirnya tau kalau perpisahan orangtuanya dikarenakan pengkhianatan Ayahnya. Dan itu terjadi karena Ayahnya yang tidak bisa meninggalkan keyakinan agamanya, agama khas Sidenreng Rappang (latar dari cerita ini) yaitu Tolotang (di KTP disebut Hindu). Kisah pernikahan kedua orangtuanya pun tidak mudah. Ini diceritakan secara pararel oleh penulis.

Akhirnya setelah sebelumnya mencari sendiri dan tidak berhasil, Vito bertemu dengan Ayahnya dan Vino lewat drama penculikan yang membuat panik Ibu dan Kakeknya. Vito sendiri tidak merasa diculik, karena ia dibawa baik2 oleh orang suruhan Ayahnya. Namun ia menemukan Ayahnya dalam keadaan tidak sadar bahkan sampai ia meninggalkannya. Vito kembali pada Ibunya yang dipastikan sangat mengkhawatirkan dirinya.Tapi ia berjanji pada Vino dan Ayahnya untuk kembali setelah meminta izin pada Ibunya. Kisah berakhir disitu.

Heuu aku kok nggak nangis ya..? Baik selama atau setelah baca buku ini. Dengan segala endorsmet dan sinopsis yang ada di sampul bukunya, juga tanggapan2 pembaca lain di goodreads, kupikir setidaknya kalaupun tidak menangis akan ada perasaan hangat yang menyeruak. Ini memang pandangan yang subjektiv, tapi dari orang yang mudah tersentuh. He he... 

Saat baru selembar dua lembar membacanya, aku kok merasa penulisnya agak mengadopsi atau setidaknya terinspirasi sekali dengan gaya penulisan Andrea Hirata ya? Dengan warna lokal yang kental itu, ironi2 kehidupan yang diceritakan, menertawakan kehidupan, mimpi dan perjuangannya. Hanya saja penggunaan sudut pandang orang ketiga yang tau segala-galanya seperti Tuhan disini agak mengganggu. Memang tidak mungkin menggunakan Vito yang masih SMP menjadi pencerita disini atau sudut pandang orang pertama. Kecuali jika alurnya dibuat mundur. Tapi, menggunakan orang ketiga yang ada dicerita itu sepertinya akan lebih baik. Seperti Pak Amin, atau mungkin Ibunya. Karena, ada cerita yang diceritakan oleh narator/penulis disini yang pada akhirnya diceritakan lagi oleh salah satu tokoh dalam cerita. Jadi numpuk kan. Misal, kalau memang kisah tentang nenek Malomo itu akan ada di bagian cerita yang disampaikan oleh Pak Amin ke murid2nya, apa yang disampaikan di prolog itu tidak perlu.

Oh ya, kisah ini tidak hanya tentang Vito, tapi juga tentang teman2nya, guru2nya, dan orangtuanya. Tapi sayangnya perpindahan dari cerita satu ke cerita lain terasa kurang halus. Kalau dari cerita Vito ke cerita Ilham dan Halimah--yang merupakan orangtuany-- oke laah.. Tapi yang tiba2 pindah ke Irfan (teman Vito) misalnya atau Pak Amin, agak kurang halus.

Satu lagi. Kisah ini juga agak kurang natural. Aku memang tidak paham bagaimana umumnya pola kekerabatan orang2 Sulawesi. Apakah ekspresi kasih sayang seperti memeluk, mencium, dan mendekap dari belakang saat tidur itu wajar disana. Tapi secara umum, orang desa, beradat, apalagi laki2 tidak seekspresif itu. Itu tabu.

Di Laskar Pelangi seri 2 atau Sang Pemimpi beda. Dia natural. Justru ketika digambarkan hubungan Ikal dan Ayahnya yang begitu kaku dan dingin, ada emosi yang sangat terasa disana dan sampai pada pembaca.

Hadeuuh,,aku ini. Penulis juga bukan, apalagi juri lomba nulis, tapi komentarnya sungguh terlalu. He he.. Padahal ini sama jurinya aja udah dijadiin novel terbaik. Yahh, ini hanya tanggapan umum seorang penikmat karya sastra. Jadi sebenernya, ndak usah digubris ajja.. Dimana-mana pengamat memang selalu bisa berkomentar macam2. Padahal dia sendiri belum tentu bisa.

Oya, kalau soal konten dan ide cerita sebenarnya ini sangat bagus :)