![]() |
Gambar dari sini |
99 Cahaya di Langit Eropa. Judul film ini pasti tidak asing
terdengar di telinga pecinta buku. Ya, ini adalah versi film dari
buku berjudul sama: 99 Cahaya di Langit Eropa. Saya sendiri belum
sempat membaca buku ini. Namun justru karena itu, disini saya akan
benar-benar hanya menulis tentang filmnya tanpa membandingkannya
dengan bukunya—suatu hal yang pasti terjadi dari film yang diangkat
dari buku adalah pembandingan.
Film ini berkisah tentang pengalaman
Hanum Rais (Acha Septriasa) di Wina Austria, dalam rangka menemani
suaminya Rangga Almahendra (Abimana) menyelesaikan studi. Disana ia
mengalami kebosanan karena tidak mempunyai kegiatan. Ia habiskan
waktunya dengan jalan-jalan dan mencari pekerjaan. Namun karena
Bahasa Jermannya yang kurang baik, hal itu agak susah. Hingga pada
suatu hari ia membaca leaflet tempat kursus Bahasa Jerman. Ia
benar-benar mengikutinya. Dan disanalah ia bertemu dengan Fatma (Raline Shah).
Perempuan muslim asal Turki yang juga tinggal di Wina. Dari
perkenalannya ia kemudian mengenal Aisye (Gecchae), anak Fatma yang periang dan menginspirasi orang-orang di sekelilingnya.
Kisah selanjutnya adalah tentang Hanum yang banyak belajar tentang
Islam pada Fatma dan Aisye. Bukan mengenai
tata cara, karena Hanum sendiri sesungguhnya termasuk muslim cukup
taat. Tapi lebih kepada bagaimana menjadi muslim seharusnya di
tengah-tengah masyarakat. Mungkin itu tidak akan terlalu penting jika
kita berada sebagai anggota mayoritas. Tapi di negeri orang, dimana
muslim adalah minoritas, justru identitas muslim harus dijaga. Muslim
yang sejatinya penuh dengan kasih sayang, penebar kebaikan, kedamaian
dan toleransi . Bagaimana menjadi agen muslim yang baik.
Tidak hanya perjalanan Hanum yang
menjadi fokus cerita di film ini. Perjalanan suaminya, Rangga Almahendra (Abimana) yang sedang kuliah di
sebuah universitas di Wina juga diceritakan dengan apik. Masih tentang bagaimana
seorang muslim yang minoritas menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang mayoritas bukan muslim. Bagaimana ia bersama temannya yang
sepertinya digambarkan sebagai muslim Asia Selatan/Tengah
yaitu Khan (Alex Abbad) melaksanakan sholat di sudut ruangan kampus dan akhirnya harus pindah
karena ditegur temannya Maarja (Marissa Nassution). Mereka diberitahu bahwa sudah disediakan
tempat khusus untuk ibadah, yang setelah di lihat ternyata bercampur
dengan tempat ibadah agama lain yang minoritas seperti Ko ngu chu, Budha dll. Berbeda dengan temannya yang tempramen dan frontal, Rangga
adalah sosok yang lebih nrimo. Rangga juga mempunyai sahabat lain
yang sering bertanya bahkan protes tentang agama Rangga (Islam) yaitu Stefan (Nino Fernandez)
Latar film ini tidak hanya ada di
Wina-Austria. Dikarenakan proposal riset Rangga yang bagus menurut
Prof. Reinhart (dosennya) ia diberi kesempatan untuk
mempresantasikannya di Paris-Perancis. Hanum berkesempatan ikut
dengan suaminya. Berkat bantuan dari Fatma, ia bertemu dengan Marion (Dewi Sandra).
Sejarawan muslim yang juga teman Fatma. Disini pemahaman Hanum mengenai
jejak-jejak peninggalan Islam di Eropa makin jauh dan memebekaskan
kekaguman.
Kesan yang langsung terasa dari film
ini adalah kesan alamiah, natural. Seperti bukan film melainkan kisah
perjalanan yang direkam sendiri. Ya, semuanya begitu natural.
Ceritanya, pemainnya, alurnya, plotnya bahkan dramanya. Mulai dari narasi tokoh utama pembuat cerita (:Hanum Rais) di awal film yang begitu personal. Perpindahan
Bahasa baik dari Inggris atau Jerman ke Indonesia dalam percakapan yang begitu halus. Kemudian diperkuat dengan para
pemainnya yang juga bermain sangat natural. Saya dan teman-teman saya
terus terang selalu suka adegan dimana Hanum bercakap-cakap dengan
suaminya Rangga Almahendra. Cara mereka bercanda, gimmicknya, pilihan
katanya, semuanya natural. Seperti sedang tidak main film.
Seperti
saat pertama Hanum menceritakan kisah pertemuannya dengan Fatma
kepada suaminya dan suaminya malah berkata bahwa istrinya itu akan
terlihat cantik memakai jilbab, Hanum berdiri dan bergumam “kamu ah
nggak nyambung” dengan reaksi yang natural. Comtoh lain adalah percakapan antara Rangga dan salah satu
temannya atau keduanya yang seringkali bertema tentang agama selalu terdengar
begitu renyah dan menggelitik penuh dengan anekdot. Ini juga menambah
kesan natural dari keseluruhan film. Juga saat pertama kali Hanum dan suaminya bertemu dengan
Marion yang ternyata berhijab. Cara memandang suaminya yang kemudian
diprotes oleh Hanum membuat penonton ikut geli melihatnya. Seperti
melihat teman kita sedang bercanda dihadapan kita.
Bukan hanya Acha
dan Abimana, pemain-pemain lain tak kalah bagus tentunya. Gacchea sangat bagus dan natural dalam memerankan Aisye. Dewi Sandra, Nino Fernandes, dan Marissa Nasution yang sangat Eropa. Raline Shah dan Alex Abbad yang islami. Bahkan
tetangga yang memprotes bau ikan asin dan suara TV yang terlalu keras
itu juga bagus. Kalau ada satu karakter dan plot yang terkesan agak
dipaksakan itu justru saat Hanum bertemu dengan Fatin yang sedang
Syuting video clip. Walaupun terlihat juga usaha sutradaranya untuk
membuatnya senatural mungkin.
Latar dan cerita di film ini tidak hanya memanjakan mata penonton dengan pemandangan tentang Eropa yang luarbiasa, tapi juga membuka wawasan penonton mengenai sejarah dunia dan sejarah Islam. Cukup provokatif dan membuat ingin merasakan dan melihat sendiri apa yang dipaparkan di film tersebut.
Jadi, salute buat para pemainnya, penyusun skenario, dan terutama sutradaranya: Guntur Soeharjanto yang meramu semuanya begitu apik, yang terus terang baru saya ketahui debutnya di film ini. Trimakasih.
akhirnya posting lagi..hehe
BalasHapusternyata sama..kerasa banget Fatin dipaksain masuk frame yah..
hal menggelitik lainnya adalah adzan di Eiffel..ga pas banget mimik muka sama lafadz adzannya..
lipsync nya kurang okeh begitu..
hehehe..
Iyyyaaa.. ngrusakkkk tuu. Tapi aku lupa buat membahasnya he he..
HapusMaaf ya pembaca setia. Ini juga kudu ke warnet malem2. heuheu
Ini modus ni. Ikut lomba ceritanya. Iseng2 berhadiah. Kalo menang mau beli HP yang bisa MP3 sama WA ha ha.. :D