Ha ha.. hari minggu itu time for hot chocolate and the
books. And well, I’ve finished one book again. Masih buku soal jalan-jalan. Nggak
terkenal sih bukunya (eh, apa terkenal ya? Karena versiku, buku terkenal itu
kayak laskar pelangi, supernova de el el), tapi asik. Awalnya aku agak
terganggu sama editing (baik tulisan maupun konten) yang kurang halus
menurutku. Tapi okelah, tetep asyik kok
![]() | |
Gambar ini asli, jepret sendiri :) |
Buku yang pertama, judulnya The Journey – nya Gola Gong. Ni buku
nemu sehabis melakukan JOURNEY selama -/+ 4 jam di atas sepeda ontel mengelilingi
Surabaya. Maksud hati nyari Stasiun Gubeng, nemunya Stasiun Pasar Turi pake
bonus nyasar. Nah, disebelah Sta. Pasar Turi itu ada toko buku bekas. Dan
ketemu deh sama buku ini. Dibeli seharga 15.000 atau 5.000 gitu, lupa! Terus
perjalanan pulang udah malem, hujan rintik2, sendirian. Aku pengen nangis
karena kecapekan.. (ha ha.. cururocol).
Trus.. trus.. buku kedua judulnya The Journal karya Neneng
Setiasih. Ni buku juga didapet dari JOURNEY – nya temenku Jogja – Bojonegoro mampir
Surabaya naik kereta api. “Mbaaaaak kamu harus baca buku ini!!” katanya, waktu
ketemu. Oya, perjalanan nyasar-nyasarku yang sebelumnya itu dalam rangka
nyariin temenku itu tiket balik Surabaya-Jogja dari Bojonegoro.
Yah, 2 buku ini ceritanya tentang jalan-jalan modal dengkul
alias Backpacking. Sangat sangat persuasive dan provokatif buat yang punya jiwa
bebas dan petualang walau sedikit saja kayak aku. Di dua buku ini, penulisnya
adalah pelaku backpacking itu sendiri. Sebenernya ada satu buku lagi yang
isinya juga jalan-jalan backpacking tapi fiktif karangan Dee : Supernova :
Akar. Tokoh fiktifnya namanya Bodhi.
![]() |
Sumber Gambar |
Nah, si Bodhi sama Gola Gong ini sama-sama menjelajahi Asia
Tenggara (kalau Gola Gong bahkan sampai Asia Selatan dan Tengah). Saking
samanya jalur track mereka dan emang aku bacanya hampir bareng, aku sampai
berpikir kalau Bodhi itu Gola Gong. Hue hue.. bahkan saat aku berusaha
mengingat cerita 2 buku itu, memoriku ketuker-tuker. And, ternyata emang
endorsement di buku The Journey – nya Gola Gong tu yang nulis Dee. Nggak
nyambung kan? Heeee.. Kalau buku The
Journal, tokohnya pada akhirnya ke Asia Tenggara sih, tapi nggak diceritakan.
Yeah, kesimpulan dari buku-buku ini adalah bahwa Backpacking
itu asik, nggak susah-susah amat dan nggak butuh banyak duit. Bagi yang ngekos
sebulan duaratus rebu bisa dikonversi kos-kosannya jadi bus ato kereta api buat
ganti tempat tidur (he he.. yang ini versiku).
Nih ya, berdasarkan 3 buku ini bisa disimpulkan juga bahwa
jalur backpackers tu rata-rata sama. Untuk keliling Asia Tenggara biasa dimulai
dari Indonesia. Berujung di Medan, trus nyebrang ke Malaysia lewat selat
Malaka. Nah yang orang Indonesia ya langsung ke Medan aja. Dari Malaysia terus
naik ke atas lewat Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Srilangka, Bangladesh,
India, Himalaya.
Hu hu ngiler ya? Kalau Gola Gong ongkos perjalanan ia cari
sambil jalan. Dia tulis kisah Backpackernya dikirim ke majalah dan dapet honor.
Kalau si Neneng Setiasih ini pakai uang tabungan project2 penelitian gitu. Belakangan
dia juga nulis kisahnya dan diterbitkan di majalah. Kalau Bodhi, aku lupa! Buku
ini cucok bagi day dreamer buat ngegedein mimpinya, ngebuletin tekadnya, trus
action!
Yang terpenting, yang ada dalam ketiga buku ini, pelaku
backpacking ini sama-sama menemukan pengalaman spiritual selama perjalanan
mereka. Bertemu banyak orang yang lebih beragam. Melihat kenyataan hidup dari
berbagai sudut pandang dan akhirnya ketika keindahan alam terekspos di mata
mereka, mereka akui kebesaran sanga pencipta. Eh, kalau si Bodhi ceritanya agak
beda ding. Dia sih keliling-keliling untuk menjauhkan kutukan pada dirinya dari
orang-orang di sekelilingnya
Jadi inget kapan hari nonton acara 2 tamu di Metro TV yang ada
Sudjiwo Tedjo – nya. Katanya: Jalan-jalan ke Gunung, Pantai dll bahkan memasak
itu akan memberikan kita pengalaman spiritual sehingga kita tidak akan lari ke
orang-orang yang kita anggap memiliki kemampuan spiritual. Ha.. ha .. I like
that.
Well, I’m totally agree dengan simpulak-simpulan di atas. I were.
Meski perjalananku nggak ada apa-apanya dibanding 2 buku nyata dan 1 buku
fiktif itu. Tapi aku cukup merasakan magisnya sebuah perjalanan. Dengan catatan,
perjalanan harus penuh ketidakpastian kayak Bancpacking. Mengenali kerumunan
manusia, merasakan waktu bergulir, jarak yang tertempuh dan kayaknya duitnya
memang harus pas-pasan supaya sensasinya ada. Dan dalam perjalanan pula, aku
selalu merasa mengerdil. Layaknya butiran debu di padang pasir. Noor Hidayati
di Himpunan Semesta, for what?
0 komentar:
Posting Komentar