Haa.. aku bingung harus mulai dari mana. Dan reaksi kita
terhadap sesuatu itu bisa berubah dalam hitungan sepersekian detik. Apa yang
muncul di otakku saat pertama kali membuka dan membaca buku ini berbeda dengan
saat ini saat aku selesai dan menutupnya. Yang patut disyukuri adalah, akhirnya
aku menyelesaikannya. Karena sempat akan diselundupkan di kereta api secara
bertanggungjawab. Tapi ternyata tak terkejar—lebih tepatnya memang tidak benar2
dikejar.
Yang tak ingin kulupakan ketika nanti aku membuka kembali
catatan ini adalah bahwa buku ini menjadi saksi perjalanan fisikku dan
perjalanan hati (wueeeeek..). Perjalanan fisik karena memang selama aku baca buku
ini aku melakukan perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya. Atau
sebaliknya juga boleh. Selama perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya aku
membaca buku ini. Dan saksi soal perjalanan hati. Ralat, pengalaman batin.
Ralat ralat pendewasaan. Ralat, ralat, ralat mmm.. kesadaran baru. Ya, kesadaran
baru. Kesadaran akan diri dalam hubungannya dengan orang lain. Sebuah masa yang
harus dilewati. Sebuah masa transisional walaupun gagal total. Ha ha… I won’t
forget those moment.
It’s kinda humor book I thought. Humor yang penuh
perenungan. Bukan ceritanya yang lucu. Tapi cara menceritakan. Yang itu berarti
tanggapan penulis akan suatu fenomena. Cara dia mengomentari sesuatu itu
menggelikan. Dan aku jadi merasa punya bakat itu juga—aku sering membaca ulang
blogku dan teratawa-tawa sendiri. Penggerutu. Dia mengatakan dirinya sendiri
penggerutu. Dia skeptis juga. Untuk sifat kedua ini memang ada di diriku tapi
yang pertama, entahlah. he he
![]() |
Gambar dari sini |
Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita-Grup Miza Pustaka Utama
Tahun terbit: 2012
Tebal: 512 h, 20,5 cm
Perolehan: Dipinjami Mr.Hassdym
Ya, buku ini lucu! Aku tertawa-tawa di kereta saat pertama
kali membacanya. Untung kereta bisnis. Dan sebelahku adalah temanku sendiri.
Belum sampai pada cerita manapun. Baru memikirkan ide untuk mencari Negara
paling bahagia saja sudah membuatku ingin tertawa. Penelitian macam apa ini?!
Tapi aku tau ini serius. Karena sudah jadi buku, jadi pasti serius. Apalagi
setelah membacanya. Hal ini benar-benar serius beserta fakta keseriusan yang
secara aneh tetap ingin kutertawakan.
Di sampulnya tertulis semacam penjelasan judul: Kisah
Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan.
Tidakkah kalian rasa ini menggelikan? Ada sepuluh Negara yang dia kunjungi
untuk riset ini: Belanda, Swiss, Islandia, Bhutan, Moldova, Thailand, India,
Britania Raya dan Amerika (yee aku berhasil menyebutkan 9 tanpa membuka
bukunya). Satunya apa ya? Ohya! Qatar.
Pertama-tama penulis mengunjungi Belanda. Ini bisa dipahami
karena ia semacam mencari kerangka berpikir dan menentukan metode penelitiannya.
Disini ia menemui seorang professor peneliti kebahagiaan (aku tertawa).
Professor ini memiliki WDH: World Database of Happiness (tertawa lebih
kencang). Baiklah, ini serius. Eric si penulis menelusuri database tersebut.
Melihat fakta2 tentang kebahagiaan. Hubungannya dengan pekerjaan, dengan
kepemilikan uang, dan tentu saja dengan Geography. Dan menurut database ini
Negara paling bahagia adalah Islandia dan Denmark. Penulis memaparkan beberapa
teori kebahagiaan dari para filsuf dan ilmuwan yang membuatnya terkejut dan
membuatku makin terkejut. Ini lebih serius dari yang kuduga. Pada akhirnya
penelitian inilah yang mendasari aliran psikologi positif. Sampai disini aku
tidak lagi menertawakan ide ini. Akhirnya dari sudut pandang database milik
professor Ruut Veenhoven ini ia menyimpulkan. Di Belanda, kebahagiaan adalah
angka. Dan di negara2 berikutnya ia melakukan penelitian, data Ruut Veenhoven
selalu menjadi landasannya berpijak.
Seperti pada saat ia mengunjungi Islandia. Karena Islandia
dikatakan sebagai Negara paling bahagia di WDH. Dia mengamati dan mewawancarai
beberapa orang. Awalnya dia tidak habis pikir, kenapa Negara yang pagi harinya
seperti malam hari (karena gelap) bisa menjadi Negara paling bahagia. Kalau
dari pengamata Eric, kunci kebahagiaan di Negara ini adalah tidak adanya rasa
iri, juga kebebasan setiap orang untuk gagal. Kegagalan adalah suatu yang
dihargai di Negara ini. Dengan pandangan lebih umum, Negara ini seperti
keluarga. Jika ada yang satu yang sakit, semua ikut merasakan. Adalah tidak
masalah jika nilai inflasi Negara tersebut tinggi. Itu lebih baik ketimbang
nilai pengangguran yang tinggi. Hal lain yang tak kalah membuat bahagia adalah
kekayaan Bahasa. Begitu menurut Eric. Sehingga di Islandia kebahagiaan adalah
kegagalan.
Di swiss. Kebahagiaan adalah kebosanan. Negara yang amat
tertata ini mengalami tingkat keteraturan dan efisiensi yang sedemikian
sehingga menjadi membosankan. Penulis mengasosiasikan efisiensi Swiss pada
pisau tentara Swiss. Itu lhoo, pisau yang ada pisaunya, gunting, pembuka tutup
botol, garpu, sendok dan sesuatu yang menyerupai manicure set he he.. Dari
perbincangannya dengan beberapa orang, saat ditanya apa yang membuat mereka
bahagia di Swiss, ada yang mengatakan hal itu karena kebersihan. Swiss sangat bersih,
bahkan toiletnya. Yang lain berkata karena penekanan rasa iri. Di swiss menjadi
mencolok adalah masalah, karena akan menimbulkan rasa iri. Mereka secara
otomatis berusaha menampilkan sesuatu yang rata-rata agar tak menimbulkan rasa
iri. Mereka khawatir untuk jadi menonjol. Mereka memilih rata-rata. Dan itu
membosankan. Bahkan kata eric, kalaupun di swiss ada perang, maka akan jadi
perang yang membosankan. Orang swiss kecanduan dengan peraturan seperti
kecanduan marijuana. Di banyak bagian Swiss, anda tidak boleh memotong rumput
dan mengibaskan karpet pada hari minggu, tidak boleh menggantungkan pakaian di
balkon pada hari apapun dan tidak boleh menyiram toilet diatas jam 10. Tapi
disini sunti mati adalah sesuatu yang legal. Ha ha.. Swiss secara konsisten
menempati posisi mendekati tingkat atas piramida Negara paling bahagia.
Kebahagiaan Nasional Bruto. Sesuatu yang di Negara lain
disebut Produk Nasional Bruto. Kebijakan itu ada di Bhutan. Disana kebahagiaan
menjadi kebijakan Negara. Tidak peduli produktifitasnya rendah, asal bahagia.
Negara para Lama (Orang bijak), negara terakhir yang mendapatkan Televisi,
aliran listrik dan jalan raya, Negara yang di jalan-jalan banyak plang kayu
bertuliskan “Terimakasih” entah untuk apa. Negara yang bandaranya seperti
terminal, kendaraan harus berhenti jika ada anjing atau hewan lain lewat. Tapi
juga Negara yang banyak dikunjungi orang asing untuk mencari ketenangan. Ya,
disini kebahagiaan adalah kebijakan Negara.
Jika ada Negara yang bahagia karena uang. Mungkin itu adalah
Qatar. Qatar adalah Negara yang mendadak kaya seperti habis menang lotre. Dan
lotre itu adalah cadangan minyak yang tersimpan di lapisan bawah tanahnya. Tapi
apakah benar mereka bahagia? Eric Weiner terbang kesana untuk memastikannya.
Sesampainya disana dia kesulitan untuk menemukan orang Qatar yang sebenarnya.
Supir taksi adalah orang India, buruh orang Nepal, Pramusaji orang Indonesia
atau Asia Tenggara lain, pramugari terlihat seperti multi etnik, dosen orang
Amerika atau Eropa. Dimana orang Qatar? Qatar memang lebih bisa dikatakan
sekelompok suku yang mendirikan sebuah Negara. Dengan kekayaan melimpah dan
penduduk amat sedikit (anggota dinasty kerajaan), mereka mendatangkan orang
dari Negara lain untuk menjalankan negaranya. Bahkan hakim di Qatar bukan orang
Qatar. Bahkan—ini yang gak susah—mereka berniat untuk membeli budaya. Karena
Qatar tak punya Budaya. Pada akhirnya penulis berhasil menemui orang Qatar asli
melalui bantuan temannya. Ia melakukan wawancara. Eric bertanya apakah mereka
bahagia. Mereka mempertanyakan pertanyaan itu. Mengapa harus mempertanyakan
kebahagiaan? Dan akhirnya mereka menjawab kalau mereka bahagia. Sambil
menambahi: “Jika anda ingin mengetahui kebahagiaan sejati, anda harus menjadi
Muslim”. Sebuah pernyataan yang kemudian dianalisis oleh Eric. Kaitan Antara
kebahagiaan dan agama memang telah lama di bahas. Dan itu signifikan. Bukan
hanya Islam. Agama lain pun demikian. Maka yang berpengaruh itu adalah
keyakinan terhadap sesuatu, apapun itu. Begitu kata Eric.
Lalu, mungkin untuk sebuah penyeimbang, Eric mencari Negara
paling tidak bahagia. Dan itu adalah Moldova. Ini juga berdasarkan statistic
Veenhoven. Dengan terlebih dahulu menyingkarkan Negara lain yang tidak bahagia
karena perang, kemiskinan dan rezim represif. Kata Eric, bahkan namanyapun
terdengar menyedihkan: Moldoooova.
“Apa kabarmu hari ini Joe?”
“Tidak begitu baik. Agak Moldooova”
Ha ha ha… ya ya.. Moldova adalah Negara pecahan Uni Soviet.
Dan penduduk Moldova mengatakan ini adalah salah satu sumber ketidakbahagiaannya.
Mereka mengalami kebingungan identitas. Orang Rusia mengganggap mereka orang
Armenia. Orang Armenia menganggap mereka Rusia. Begitulah. Maka kebahagiaan di
Moldova adalah berada di tempat lain.
Eric terbang ke Asia lagi. Kali ini Thailand. Negara yang
penduduknya suka tersenyum, katanya. Dan senyum identic dengan bahagia.
Walaupun pada kenyataannya ada banyak kosakata senyum di Thailand. Senyuman
saya mengagumi anda, senyuman menandakan saya tidak setuju dengan anda tapi
silahkan melanjutkan ide buruk anda. Senyuman sedih, dan senyuman mencoba untuk
tersenyum tetapi tidak bisa. Ha ha.. Orang Thailand tidak suka berpikir. Dan
mereka mengatakan berpikir itu mengurangi kebahagiaan. Mereka toleran terhadap
segala sesuatu. Menganggap sebuah ketidakberuntungan jika memang harus terjadi,
terjadilah. Mai pen lay. Tidak apa apa.
Negara berikutnya adalah Britania Raya. Inggris. Negara yang
penuh kesopanan dan tata karma. Di bagian Negara ini ada yang tidak terlalu
bahagia. Sebuah daerah bernama Slough. Dan sebuah acara reality show dibuat
dengan judul “Making Slough Happy”. 50 relawan dikumpulkan dan dikarantina.
Mereka mengikuti kegiatan dan pelatihan untuk menjadi bahagia. Nanti seusai
acara mereka akan di kembalikan ke lingkungan semula untuk menjadi agen kebahagiaan.
Eric ingin melihat seperti apa usaha ini dilakukan. Ia menemui sutradara acara,
beberapa relawan yang terlibat dan mengunjungi Slough. Slough memang
menjemukan. Namun begitu, 2 orang relawan yang ia temui tampak bahagia. Dan
sang sutradara mengatakan perubahan itu—merubah masyarakat menjadi bahagia—itu
sangat mungkin. Jadi, kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung. Bisa
diupayakan.
Dan sampailah di India. Negara yang penuh kontradiksi kata
Eric. Kedamaian hati di Ashram (semacam tempat penyucian jiwa) bersanding
dengan kebisingan. Gedung2 hi-tech bercampur dengan perumahan kumuh. Karyawan
perusahaan TI yang juga percaya keajaiban Guru –Ji. Seorang pembantu miskin
tapi bahagia. Ini semua kontradiktif. Penulis mengikuti pelatihan di Ashram selama
tiga hari. Tinggal di rumah seorang seniman yang anti-asram. Berdiskusi tentang
penelitiannya dengan orang2 yang datang dan pergi ke rumah itu. Berdiri di
teras dan memandani rumah kumuh bercampur gedung hi-tech. Memeperhatikan gadis
kecil yang mengorek sampah sambil memegang boneka kotor di tangan kirinya. Dan
ini menjebol tembok kekerasan hatinya. Di India, Eric juga berhasil tidak minum
caffeine selama beberapa hari. Merasa tenang dan tidak teralalu menggerutu.
Padahal India begitu hiruk pikuk. India adalah pesta perjamuan untuk telinga.
Semuanya bising. Merasakan ketenangan didalamnya, itu kontradiktif. Eric
membenci Negara ini sekaligus mencintainya. Sebuah kontradiksi lain.
Kembalilah ia ke Negara asalnya Amerika. Dia bercerita
banyak orang di Amerika yang bepergian. Mencari tempat yang membahagiakan.
Suatu tempat dianggap begitu membahagiakan, maka kemudian orang2 berbondong2
pindah kesana. Hingga lama kelamaan hal itu menjadikan tempat itu tidak lagi
membahagiakan. Mereka mencari tempat lain lagi. Berpindah lagi. Sekonyong2
tempat itu penuh lagi oleh para pendatang. Begitu terus. Mulai dari daerah
tropis di Miami kemudian yang baru2 ini adalah pegunungan di Carolina Utara,
daerah bernama Asheville. Mereka mengatakan mereka bahagia di tempat itu. Tapi
bagaimanapun ketika mereka ditanya, dimana mereka ingin meninggal dunia? Mereka
akan menjawab di daerah asalnya. Jadi, di Amerika, bahagia adalah Rumah. Tempat
kita selalu ingin pulang (ini kata2ku ha ha)
Yang sudah kuketik ini, sebanyak 1.1714 kata adalah baru
paparan isi bukunya. Belum tanggapanku dan apa yang berkecamuk di otakku ketika
membaca buku ini. Ha ha.. Seperti yang kebanyakan kulakukan pada setiap buku
yang kubaca. Ini semacam membaca interaktif. He he. Reaksi terbanyak adalah di
Bab pertama. Pertama kali aku membaca buku ini. Kemudian menyurut seiring
dengan mendekati terselesaikannya buku. Jadi mengalami trend kritik yang
menurun. Yang stabil itu sensasi humornya.
Masing2 kita mempunyai konsep mengenai kebahagiaan kurasa.
Sesederhana mungkin. Maka membaca konsep yang begini serius pasti ada letupan2
pemikiran. Untuk kasusku itu pasti. Sudah kukatakan aku menertawakan ide ini.
Mereka ini segitu kurangkerjaannya ya, sampe meneliti kebahagiaan. Bahkan, look!
ada profesornya, ada databasenya. Walaupun aku sampai juga di titik pemahaman,
bahwa ini memang sesuatu yang layak diteleti. Hanya aku saja yang terlalu
menyepelekan.
Di bab pertama penulis banyak menyebut teori kebahagiaan.
Dan tentu saja alat ukurnya. Saat itu aku langsung mengukur kebahagiaanku. Dari
skala 1-100 aku 80an lah ya.. Ya aku bahagia sekali malam ini. Di perjalanan,
dalam kereta, membaca buku bagus, berdiskusi dengan teman, smsan ha ha.. Aku
bahagia. Tapi segera mengalami rasionalisasi. Aku sms temanku dan menanyakan
tingkat kebahagiaannya. Katanya dibawah 50. Dikit banget.. kataku. Kemudian aku
merenung. Dan saat itu juga tingkat kebahagiaanku turun mungkin sampai dibawah
50 juga. Kemudian, kata penulisnya: Manusia
adalah makhluk lima menit terakhir. Dalam satu penelitian, orang yang menemukan
koin sepuluh sen di trotoar lima menit sebelum diberi pertanyaan mengenai
kebahagiaan melaporkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dengan keseluruhan
kehidupan mereka dari pada mereka yang tidak menemukan koin sepuluh sen.
Kesindir dong gue!!
Kemudian teringat suatu hal. Sebuah eksperimen. Suatu kali.
Aku pernah ikut pelatihan. Pelatihan bisnis untuk para pegiat UKM sebenarnya.
Tapi disitu salah satu trainer melakukan sebuah uji coba sederhana. Peserta
diminta berpasangan dengan orang sebelahnya. Berhadap2an. Mereka diminta
memjamkan mata dan bersalaman. Salah satu dari pasangan itu diminta
membayangkan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya. Sesuatu yang indah
dan tak terlupakan. Setelah sekian waktu, mereka yang bersalaman ini suit.
Hampir bisa dipastikan yang menang adalah yang tadi membayangkan peristiwa
bahagia dalam hidupnya. Percobaan ini juga bisa diubah menjadi membayangkan
yang buruk. Atau janjian untuk seri (tidak ada yang kalah atau menang) saat
suit tanpa berkomunikasi. Dan banyak yang berhasil. Untuk percobaan yang
terakhir itu lebih membuktikan adanya kekuatan telepati ketimbang kekuatan
kebahagiaan. Aku ingin mencobanya saat itu juga di dalam kereta. Tapi sama
siapa? Jadinya aku tidur saja. He he..
Selain tentang eksperimen diatas, hal lain yang kupikirkan
saat baru membaca Bab 1 buku ini adalah: Bahagia dalam Islam itu seperti apa
ya? Apakah itu menjadi sebuah tujuan yang harus diwujudkan dalam ajaran Islam?
Apakah ada do’a memohon kebahagiaan. Karena pengetahuan kurang, aku sms temanku
yang kuliah di UIN jurusan sastra Arab. Pertama2 aku Tanya Bahasa Arabnya
bahagia itu apa?. Dengan begitu aku bisa tau apakah diantara do’a2 yang selama
ini kuketahui ada kosakata bahagianya. Temanku menjawab: Sahaada. Dan ajaibnya,
di beberapa lembar berikutnya, masih di bab 1 si penulis menyebut beberapa
kosakata bahagia dalam berbagai Bahasa termasuk Bahasa Arab. Ha ha..
Aku mengingat-ingat, apakah ada kosakata itu dalam do’a2
berbahasa arab. Aku sulit menemukannya. Yang sering muncul dalam do’a umat
muslim adalah keselamatan dan keberkahan. Kemudian aku sms lagi untuk
memastikan. Bertanya, apakah ada do’a dalam Bahasa Arab yang ada kalimat
sahaada-nya yang berarti meminta kebahagiaan. Temanku mau bertanya pada
temannya yang lain karena dia sendiri tidak begitu paham. Disini artinya,
kalaupun ada do’a seperti itu, itu jarang digunakan. Karena bahkan temankupun susah
untuk menemukannya dalam ingatannya. Padahal aku yakin dia sering berdo’a. Sampai
besoknya tidak ada jawaban. Aku jadi curiga. Jangan2 memang tidak ada.
Do’a adalah harapan. Do’a adalah keinginan. Sesuatu yang
kita niatkan. Semua agama punya do’a. Semua yang meyakini ada kekuatan
mahadahsyat di dunia ini pasti pernah berdo’a. Dan kalau di dalam Islam, do’a
adalah senjata kaum mukmin. Pemahaman yang baru2 ini kusadari, do’a adalah
keyakinan itu sendiri. Keyakinan bahwa ada kekuatan Allah yang bisa membuat
segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin dan sebagainya. Seseorang yang
punya keyakinan ini tidak akan pernah putus asa. Betapapun terhimpitnya,
betapapun tak berdayanya.
Karena do’a itu harapan atau keinginan. Ia sering diucapkan
untuk mendapatkan tujuan2. Jika bahagia adalah keinginan dan tujuan yang
penting untuk dicapai. Maka seharusnya ada do’anya. Aku tidak tau di agama
lain. Tapi di Islam, ternyata itu bukan kata yang familiar dalam do’a.
Kita memang bisa berdo’a apa saja pada Allah. Dan itu tidak
harus menggunakan Bahasa Arab. Tapi, kalau kita menjunjung tinggi sunnah—dan
itu merupakan keutamaan muslim—maka ada baiknya berdo’a menggunakan do’a yang
diajarkan oleh RasulAllah. Banyak buku2 do’a yang sesuai tuntunan Nabi.
Beberapa sering dibaca bersama setelah sholat oleh imam dan jama’ah. Ada do’a2
yang sifatnya pengiring kegiatan sehari-hari. Ada yang digunaka setiap saat.
Salah satunya yang umum ucapan adalah Tazmiah: Bismillahhirrohmaanirrohim.
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ini kalau
dilihat secara arti ndak ada permohonannya. Hanya menyertakan Allah dalam apa
yang akan dikerjakan. Kalau sudah menyertakan Allah ya jadi tidak boleh
berdusta, harus mengupayakan yang terbaik dan segala tindakan positive lain.
Serta tentu saja meninggalkan tindakan negative atau merugikan. Nah lo!
Do’a yang menyertai kegiatan sehari-hari secara umum adalah
penyertaan Allah seperti diatas, permohonan keselamatan dan perlindungan, dan
ucapan syukur. Bersyukur dibangunkan setelah tidur, bersyukur diberikan rezeki,
dan lain-lain. Selain itu, yang sering muncul adalah Barokah. Salah satunya
dalam ucapan salam. Assalamu’alaikum warohmatullahhi wa barokaatuh. Kurang lebih
artinya: Semoga keselamatan menyertaimu, dan semoga kamu mendapatkan rahmat
dari Allah juga keberkahan (barokah).
Orang Kristen ku dengar sering juga berkata: semoga Tuhan
memberkati. Yang dalam Bahasa inggris God Bless You. Bless=keberkahan. Bliss=kebahagiaan
(sebuah kosakata yang baru kuketahui saat baca buku ini).
Apa itu Berkah/Barokah? Perlu belajar di sub sub sub sub
Bahasa Arab untuk bisa menafsirkan arti kata Bahasa Arab. Dan aku belum pernah
membaca salah satu diantara pendapat para cendikiawan tentang arti kata itu. Satu2nya
yang mudah2an bisa mewakili adalah yang pernah kubaca di salah satu buku
tentang pernikahan (heuheu..). Aku lupa. Antara buku
Barakallahhulaka-Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A.Fillah atau Kupinang
Engkau dengan Hamdalah milik Faudil Azhim. Kurang lebih begini:
Salah satu tujuan menikah adalah Barokah. Seperti yang
termaktub dalam do’a RasulAllah pada pernikahan Ali dan Fatimah. Barokallahhulakuma
wa baroka ‘alaikuma, wajama’a bainakuma fii khoi (jadi bukan: wish u happily ever
after). Apa itu barokah? Penulisnya memberi
contoh. Ada seorang lelaki. Menggunakan kaos oblong dan sandal jepit. Ia sedang
membeli pecel lele di sebuah warung tenda. Beberapa lembar uang kumal dia
keluarkan dari sakunya. Hujan turun. Dia tidak membawa payung atau mantel. Karena
takut bungkusan makanan basah walaupun sudah dilapisi keresek, ia masukkan ke
dalam kaos oblongnya. Bersiap berlari menembus hujan. (terus pas aku nulis paragraph
ini temanku muter MP3 marry u’r daughter-nya Brian Mc. Night. heuuu pengen jitak)
Pertanyaannya, apakah dia tampak bahagia? Sepertinya sama sekali
tidak, bahkan sepertinya menyedihkan. Dia malang sekali sepertinya. Tapi taukah
anda. Lelaki itu saat membeli pecel lele, dalam pikirannya terbayang istrinya
yang sudah menunggunya di rumah, dan betapa bahagianya dia nanti mengetahui
suaminya pulang membawa bungkusan pecel lele. Dia akan disambut dengan senyuman
terindah.. dia akan sangat bahagia melihat istrinya bahagia.
Begitulah barokah. Sebuah perasaan yang lebih dari bahagia. T-T
Heuuu.. beneran, aku nggak bisa nyimpulinnya. Pokoknya gitu
deh. Barokah itu bahkan ketika kondisi sesulit apapun kita tetap bisa merasakan
ketenangan. Kita yakin bahwa apa yang terjadi ini adalah episode takdir yang
harus dijalani dengan sepenuh ikhlas. Ketenangan itu sendiri muncul sebab rasa
aman. Baik dari kesalahan manusiawi maupun dari ketidakridhoan Allah. Baiklah,
sampai disini aku jadi tercenung. Krik krik krik.. aku gimana?
Balik lagi ke soal bukunya dan juga pendapatku—dan mungkin
pendapat orang lain. Kebahagiaan memang mempunyai pengaruh besar dalam kualitas
hidup. Contohnya sederhananya seperti eksperimen yang kuceritakan. Dan aku juga
merasakan. Saat kita tidak sedang bahagia, rasanya semuanya kacau. Ada awan
mendung yang melingkupi kepala kita. Kalau ketidakbahagiaan itu ada setiap hari
bahkan memang jadi ciri suatu daerah, seperti di Moldova misalnya. Hidup begitu
mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan.
Namun, meski demikian kebahagiaan bukanlah suatu tujuan
hidup. Bukan cita2 tertinggi. Seperti yang dikatakan Guru-Ji seorang Guru India
saat ditanya oleh Eric.
“Apakah kebahagiaan itu cita2 tertinggi? Ataukah ada sesuatu
yang lebih besar yang harus kita kejar?”
Guru-ji menjawab. “Ya, ada sesuatu yang lebih tinggi
daripada kebahagiaan. Cinta lebih tinggi daripada kebahagiaan”
Kalau si Eric Tanya sama aku—dan mungkin juga oranglain. Jawabanku
adalah keberkahan. Atau kalau Tanya sama Hasan Al-Banna dan pengikutnya, jawabannya
adalah: mati di jalan Allah. Dan Eric bisa dipastikan langsung bergidik, dan
mengganggap mereka teroris. He he..
Huffffftthh,, aku jadi mikir—dan ini diperkuat saat membaca
bab soal Amerika. Mereka itu, yang tidak punya agama itu memang bingung sama
hidupnya sendiri ya?. Membingungkan hal-hal sederhana seperti itu. Dan kebalikannya,
kita ini membingungkan hal2 yang menurut mereka sederhana. Bagaimana menciptakan
produktivitas yang tinggi. Bagaimana mengelola sumber daya alam ini. Bagaiamana
menciptakan produk elektronik canggih. Ha ha.. Sekali lagi jadi inget,
sebenarnya apa yang benar2 bisa membedakan konstruk berpikir barat dan timur
semacam ini. Orang timur yang penuh nilai spiritual dan barat yang penuh nilai capital.
Seperti yang pernah kutulis di sini.
Anehnya lagi. Hal2 yang kita anggap sangat sederhana itu
bisa mereka teliti dan cari dengan sangat serius. Bahkan dalam jangka waktu
tertentu bisa jadi disiplin ilmu yang dipelajari di uneversitas2. Diyakini sebagai
sebuah kebenaran. Padahal berangkat dari ketidakyakinan. Ruut Veenhoven, professor
kebahagiaan itu dewasa ini berada di garis depan bidang yang menghasilkan
ratusan makalah riset setiap tahunnya. Juga diselenggarakan konferensi
kebahagiaan dan Journal Of Happiness Studies (yang disunting Veenhoven). Mahasiswa
di Claremont Graduate University di California sekarang dapat memperoleh gelar
M.A atau Ph.D dalam psikologi positif—dalam kebahagiaan.
Aku membayangkan, suatu kali sambil mencuci di kamar mandi
berpikir tentang dampak keajaiban kutukan/sumpah. Bagaiamana sebuah kutukan
dapat benar2 terwujud. Dan kemudian itu menjadi suatu kajian linguistic sedikit
mistic. Ha ha..
Ya ya ya.. aku pikir, kadang manusia itu menjadikan manusia
sebagai objek penelitian dengan mengesampingkan fakta kalau mereka juga
manusia. Penulisnya pun kurang lebih berpendapat sama tentang hal itu. Tentang
WDH. Tentang Veenhoven. Bahwa disini di penelitian tentang kebahagiaan ini ia
berperan sebagai wasit. Wasit yang netral. Seolah2 dia tidak punya perasaan dan
subyektifitas. Tapi di sisi lain, aku juga sadar aku pernah mempunyai
pertanyaan serupa tapi bukan tentang kebahagiaan. Setidaknya buka kebahagiaan
individu.
Pekerjaanku—dan memang minatku—adalah pemberdayaan
masyarakat. Meski ini adalah upaya untuk menolong orang lain agar bisa menolong
diri sendiri atau give power to powerless, bisa dipastikan ada intervensi
disana. Pekerjaanku adalah mengintervensi orang seolah-olah mereka memang butuh
intervensi itu. Aku pernah sangat pusing dengan hal ini. Tujuannya kan selama
ini untuk kesejahteraan masyarakat. Memang masyarakat yang sejahtera itu
seperti apa? Pusing ya?
Seperti kata Butet Manurung di buku Sokola Rimba. Manusia itu
kadang sok tau apa yang baik buat manusia lain. Itu pendapatnya tentang
beberapa intervensi LSM dan pemerintah pada orang rimba. Padahal menurutnya
mereka baik2 saja. Dan mereka memag akan tetap baik2 saja selama ada hutan. Mereka
tidak butuh baju, rumah permanen dll. Ini Cuma contoh pendapat lain mengenai
intervensi manusia pada manusia lain. Walaupun kalau dipikiranku pendapat Butet
agak kontradiktif.
Hah, satu hal yang tiba2 muncul ketika aku hampir menutup
buku ini. Terstimulus oleh kata2 Guru-ji tentang yang lebih baik dari
kebahagiaan yaitu cinta. Entah ini sudah pernah dipikirkan orang lain atau
belum.
Cinta itu tak pernah selesai didefinisikan. Namun begitu,
cinta juga selalu bisa jadi jawaban atas pertanyaan yang paling membingungkan. Ha
ha.. Cobalah :)
0 komentar:
Posting Komentar