Karena cinta harus diupayakan

Namun pada intinya saya menangkap kesimpulan: “yah, memang
cinta harus diupayakan”. Mungkin mudah bagi kita suatu hari berkata atau merasa
“aku mencintai….”. Tapi bagaimana agar cinta itu tumbuh subur_tentu saja dengan
hakekat cinta yang menyertainya_memerlukan sebuah upaya. Jadi soal mendapatkan
sesuatu itu mudah, tapi mempertahankannyalah yang sulit dan butuh upaya lebih
dari sekedar pada saat mendapatkan.
Pernah suatu hari aku merenung dan berpikir, di saat
orang-orang di sekelilingku_dan mungkin termasuk juga aku_sedang
semangat-semangatnya untuk menjemput fase yang disebut pernikahan. Dan pembicaraan
tentang hal itu jadi topic yang selalu hangat dan tak pernah habis dibahas. Aku seperti dipertontonkan kehidupan rumah
tangga pasangan-pasangan yang sudah menikah lebih dari 5 tahun dan mempunyai
anak dan seterusnya. Tentang kodrat seorang istri tentunya. Oooh betapa, di
masa ini wanita benar-benar diuji cintanya.
Jadi yang kulihat adalah beberapa model rumah tangga, mulai
yang begitu harmonis, biasa aja sampe yang agak-agak mendapat banyak cobaan.
Seorang istri dengan 3 anak perempuan. Suaminya adalah bos besar yang wilayah
kerjanya Indonesia, antar provinsi. Anak-anaknya terlihat begitu bangga
terhadap ayahnya. Sedangkan suaminya adalah sosok meyakinkan yang berkarakter
kuat. Disuatu acara, dimana semua anggota keluarga ini ada, sang istri tampak
begitu sabar “mengendalikan” ketiga anaknya, sementara sang suami menjadi
pembicara dan orang penting dalam acara itu. Menatap suaminya berbicara, aku
seperti menangkap suatu bisikan jiwa seorang istri. Istri yang mengetahui seluk
beluk suaminya luar dan dalam, yang sepertinya karena dia tahu segalanya, dia
agak “meremehkan” apa yang sekarang sedang dikatakan suaminya di depan
bawahannya. “Haaah, suamiku-suamiku, apa yang kau katakana itu sedikit
berlebihan” begitulah kurang lebih yang kutangkap dari matanya.
Dan mengingat hal ini, aku jadi teringat suatu hadist
“istrimu adalah baju bagi suami, dan suami adalah baju bagi istri”. Baju,
fungsinya adalah untuk menutupi tubuh . Menutupi agar kehormatannya tetap
terjaga. Haaa subhanallah, betapa islam mengatur semuanya dengan indah. Dan tak
ingin berat sebelah, kurasa, walaupun tak tersirat, sang suami tentu juga tau
kekurangan yang ada pada istrinya, dan cintanya juga dibutuhkan untuk dapat
menerimanya.
Refleksi pada diriku, aku berfikir bagaimana, jika nanti aku
mendapati suamiku misalnya begitu arogan, menjadi cibiran orang banyak karena
sikap sombongnya, jika dia ternyata, tidak disukai oleh teman sekantornya, jika
dia punya aib yang begitu besar dan bayangan-bayangan akan sifat yang biasanya
bisa membuatku jengah. Membayangkannya ada pada suamiku kelak, membuatku merasa
harus punya hati yang lebih lapang.
Aku juga punya kekurangan tentu saja, dan pasti banyak. Dan
tentu saja, suamiku kelak juga harus berupaya untuk mencintaiku dengan
kekuranganku itu. Tapi kembali aku menangkap suatu perbedaan disini.
Bagaimanapun suami punya kekuatan lebih dan wewenang untuk mengatur istrinya.
Dan kami, para istri kewajibannya adalah menaati suami. Bahkan taatnya seorang
wanita pada suaminya, mengalahkan ketaatannya pada orangtuanya. Lalu bagaimana
jika kita berada pada posisi menaati ketentuan-ketentuan suami yang salah, yang
secara sadar kita tak dapat menerimanya. Maka disini, wanita lebih banyak
mengupayakan cintanya.
Seperti yang kulihat pada pasangan yang satunya. Pasangan
yang sangat harmonis di awal pernikahannya. Kisah cinta mereka kuketahui begitu
romantis, kisah cinta kilat khusus. Hingga pada kurang dari 5 tahun usia
pernikahannya, setelah anak yang mereka nanti-nantikan lahir, badai yang datang
begitu dahsyat. Badai berupa fitnah terbesar di dunia… : wanita. Entah
bagaimana sang suami terkena fitnah itu. Dan menghadapi semua itu, apa yang kau
bayangkan dan harapkan terjadi pada istrinya? Lebih dari kesabaran seluas
samudra yang kudapati ada padanya. Ia, sang istri yang mungkin sudah begitu
menyadari hakekat kehidupan ini, sadar betul bahwa suaminya bukanlah
semata-mata miliknya. Memang tidak sampai berakhir pada poligami, namun
kehidupan mereka sungguh tidak mudah setelah itu. Mereka yang tadinya berkarya
bersama, harus berpisah karena skandal itu membuat suaminya harus pergi.
Sedangkan sang istri, karena amanah dan tanggungjawab yang ia rasa lebih
penting memilih untuk tinggal. Sesungguhnya, aku tak telalu tau kisahnya, tapi
dengan melihat, berbicara dan mengamati sang istri itu, terasa bahwa ini semua
tidak mudah. Wanita mana yang bisa dengan mudahnya memaafkan suaminya atas
kejadian itu. Kemudian harus tetap mencintainya, menaatinya. Harus berpisah
dari orang-orang yang dicintai. Ini semua butuh energy cinta yang begitu besar.
Sangaaaaaaaaaaaaaat besar kurasa. Dan apa yang sang istri perbuat tentang
amanahnya itu pun juga luar biasa. Ditengah kerumitan kehidupan pribadinya , ia
tetap bisa menghasilkan karya, yang bernilai jariyah. Tidak habis meski dia tlah
meninggal sekalipun. insyaAllah.
Dan mungkin ada lebih banyak kisah di luar sana. Dan
setidaknya akupun belajar dari kedua orang tuaku. Ibuku yang mencontohkanku
betapa pengabdian pada suami itu memang harus, apapun kondisinya. Ia yang
menjadi tulang punggung keluarga, pasca sakitnya bapakku membuktikan bahwa
begitulah suami-istri seharusnya, melengkapi. Meski begitu, kita juga harus
pintar-pintar mengambil celah dari ketaatan itu, untuk kebaikan seluruh
keluarga. Bagaimana menyisihkan uang begitu penting, ikut arisan agar bisa
menyicil barang untuk usaha, mengatur menu makanan agar bisa pas dengan
anggaran, merencanakan biaya studi anaknya, mengatur bagaimana nanti jika
anaknya menikah. Dan diatas semua itu ia tidak tampak superior terhadap sang
suami, tetap dalam kepatuhannya.
Sedang bapak, bagaimana atas sakitnya itu ia tetap mempunyai
wibawa yang sama (ooooh lagi-lagi ini peran istri yang sangat menentukan). Ia
bertugas memberi pengertian kepada anak-anaknya, bahwa kita harus bekerjasama.
Siapa yang bisa menanggung suatu perkara maka tanggunglah, tak peduli dia anak
lelaki atau perempuan, anak pertama, kedua, atau ketiga dst. Dan kesusahan satu
anggota keluarga adalah kesusahan bersama. Mencarikan suami atau istri yang
baik untuk anak-anaknya dengan usaha maksimal. Tentu saja yang aku tidak tau,
entah bagaimana mekanisme saling dukung yang ada pada mereka.
Haaaah, karena cinta harus diupayakan, jadi menikah itu baru
tahap awal. Baru tahap ikrar untuk mendapatkan cinta, sedang untuk
mempertahankannya? Dibutuhkan upaya yang lebih besar.
Maka menuliskan semua ini seperti sedang memberikan
pengeritan pada diriku sendiri. Segala kepusingan kaum labil sepertiku ini
memang harus disikapi dengan bijak. Artinya, cara dan keputusanku untuk
mendapatkan pasangan hidup juga hal yang penting, yang menentukan bagaimana
kisahku selanjutnya. Jadi tidak usahlah mempersulit diri dengan perasaan yang
menghanyutkan akan seseorang. Toh kita harus melihatnya dengan kacamata masa
depan. Bagaimana aku akan mencintainya kelak.
Tidak hanya ingin membicarakan cinta yang demikian. Cinta
pada teman, pada orang tua pada semua yang ada di sekeliling kita juga perlu
diupayakan. Bagaimana mengambil hati teman, anak, partner kerja, atasan,
bawahan, adik, kakak begitu perlu diupayakan. Bagaiamana menghormati guru dan
orang-orang yang berjasa adalah mengupayakan cinta.
Akhirnya, cinta bukanlah perasaan yang datang begitu saja
tanpa upaya. Pasrah sampai dengan bisa menerima sesuatu untuk dicintai itu
salah. Semuanya harus diupayakan. Karena cinta harus diupayakan.
0 komentar:
Posting Komentar