Sabtu, 25 Januari 2014

Buku penelitian serius tentang kebahagiaan



Haa.. aku bingung harus mulai dari mana. Dan reaksi kita terhadap sesuatu itu bisa berubah dalam hitungan sepersekian detik. Apa yang muncul di otakku saat pertama kali membuka dan membaca buku ini berbeda dengan saat ini saat aku selesai dan menutupnya. Yang patut disyukuri adalah, akhirnya aku menyelesaikannya. Karena sempat akan diselundupkan di kereta api secara bertanggungjawab. Tapi ternyata tak terkejar—lebih tepatnya memang tidak benar2 dikejar. 

Yang tak ingin kulupakan ketika nanti aku membuka kembali catatan ini adalah bahwa buku ini menjadi saksi perjalanan fisikku dan perjalanan hati (wueeeeek..). Perjalanan fisik karena memang selama aku baca buku ini aku melakukan perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya. Atau sebaliknya juga boleh. Selama perjalanan ke Bandung, Jogja, Kudus, Surabaya aku membaca buku ini. Dan saksi soal perjalanan hati. Ralat, pengalaman batin. Ralat ralat pendewasaan. Ralat, ralat, ralat mmm.. kesadaran baru. Ya, kesadaran baru. Kesadaran akan diri dalam hubungannya dengan orang lain. Sebuah masa yang harus dilewati. Sebuah masa transisional walaupun gagal total. Ha ha… I won’t forget those moment.

It’s kinda humor book I thought. Humor yang penuh perenungan. Bukan ceritanya yang lucu. Tapi cara menceritakan. Yang itu berarti tanggapan penulis akan suatu fenomena. Cara dia mengomentari sesuatu itu menggelikan. Dan aku jadi merasa punya bakat itu juga—aku sering membaca ulang blogku dan teratawa-tawa sendiri. Penggerutu. Dia mengatakan dirinya sendiri penggerutu. Dia skeptis juga. Untuk sifat kedua ini memang ada di diriku tapi yang pertama, entahlah. he he

Gambar dari sini
Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita-Grup Miza Pustaka Utama
Tahun terbit: 2012
Tebal: 512 h, 20,5 cm
Perolehan: Dipinjami Mr.Hassdym

Ya, buku ini lucu! Aku tertawa-tawa di kereta saat pertama kali membacanya. Untung kereta bisnis. Dan sebelahku adalah temanku sendiri. Belum sampai pada cerita manapun. Baru memikirkan ide untuk mencari Negara paling bahagia saja sudah membuatku ingin tertawa. Penelitian macam apa ini?! Tapi aku tau ini serius. Karena sudah jadi buku, jadi pasti serius. Apalagi setelah membacanya. Hal ini benar-benar serius beserta fakta keseriusan yang secara aneh tetap ingin kutertawakan. 

Di sampulnya tertulis semacam penjelasan judul: Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan. Tidakkah kalian rasa ini menggelikan? Ada sepuluh Negara yang dia kunjungi untuk riset ini: Belanda, Swiss, Islandia, Bhutan, Moldova, Thailand, India, Britania Raya dan Amerika (yee aku berhasil menyebutkan 9 tanpa membuka bukunya). Satunya apa ya? Ohya! Qatar. 

Pertama-tama penulis mengunjungi Belanda. Ini bisa dipahami karena ia semacam mencari kerangka berpikir dan menentukan metode penelitiannya. Disini ia menemui seorang professor peneliti kebahagiaan (aku tertawa). Professor ini memiliki WDH: World Database of Happiness (tertawa lebih kencang). Baiklah, ini serius. Eric si penulis menelusuri database tersebut. Melihat fakta2 tentang kebahagiaan. Hubungannya dengan pekerjaan, dengan kepemilikan uang, dan tentu saja dengan Geography. Dan menurut database ini Negara paling bahagia adalah Islandia dan Denmark. Penulis memaparkan beberapa teori kebahagiaan dari para filsuf dan ilmuwan yang membuatnya terkejut dan membuatku makin terkejut. Ini lebih serius dari yang kuduga. Pada akhirnya penelitian inilah yang mendasari aliran psikologi positif. Sampai disini aku tidak lagi menertawakan ide ini. Akhirnya dari sudut pandang database milik professor Ruut Veenhoven ini ia menyimpulkan. Di Belanda, kebahagiaan adalah angka. Dan di negara2 berikutnya ia melakukan penelitian, data Ruut Veenhoven selalu menjadi landasannya berpijak.

Seperti pada saat ia mengunjungi Islandia. Karena Islandia dikatakan sebagai Negara paling bahagia di WDH. Dia mengamati dan mewawancarai beberapa orang. Awalnya dia tidak habis pikir, kenapa Negara yang pagi harinya seperti malam hari (karena gelap) bisa menjadi Negara paling bahagia. Kalau dari pengamata Eric, kunci kebahagiaan di Negara ini adalah tidak adanya rasa iri, juga kebebasan setiap orang untuk gagal. Kegagalan adalah suatu yang dihargai di Negara ini. Dengan pandangan lebih umum, Negara ini seperti keluarga. Jika ada yang satu yang sakit, semua ikut merasakan. Adalah tidak masalah jika nilai inflasi Negara tersebut tinggi. Itu lebih baik ketimbang nilai pengangguran yang tinggi. Hal lain yang tak kalah membuat bahagia adalah kekayaan Bahasa. Begitu menurut Eric. Sehingga di Islandia kebahagiaan adalah kegagalan.

Di swiss. Kebahagiaan adalah kebosanan. Negara yang amat tertata ini mengalami tingkat keteraturan dan efisiensi yang sedemikian sehingga menjadi membosankan. Penulis mengasosiasikan efisiensi Swiss pada pisau tentara Swiss. Itu lhoo, pisau yang ada pisaunya, gunting, pembuka tutup botol, garpu, sendok dan sesuatu yang menyerupai manicure set he he.. Dari perbincangannya dengan beberapa orang, saat ditanya apa yang membuat mereka bahagia di Swiss, ada yang mengatakan hal itu karena kebersihan. Swiss sangat bersih, bahkan toiletnya. Yang lain berkata karena penekanan rasa iri. Di swiss menjadi mencolok adalah masalah, karena akan menimbulkan rasa iri. Mereka secara otomatis berusaha menampilkan sesuatu yang rata-rata agar tak menimbulkan rasa iri. Mereka khawatir untuk jadi menonjol. Mereka memilih rata-rata. Dan itu membosankan. Bahkan kata eric, kalaupun di swiss ada perang, maka akan jadi perang yang membosankan. Orang swiss kecanduan dengan peraturan seperti kecanduan marijuana. Di banyak bagian Swiss, anda tidak boleh memotong rumput dan mengibaskan karpet pada hari minggu, tidak boleh menggantungkan pakaian di balkon pada hari apapun dan tidak boleh menyiram toilet diatas jam 10. Tapi disini sunti mati adalah sesuatu yang legal. Ha ha.. Swiss secara konsisten menempati posisi mendekati tingkat atas piramida Negara paling bahagia.

Kebahagiaan Nasional Bruto. Sesuatu yang di Negara lain disebut Produk Nasional Bruto. Kebijakan itu ada di Bhutan. Disana kebahagiaan menjadi kebijakan Negara. Tidak peduli produktifitasnya rendah, asal bahagia. Negara para Lama (Orang bijak), negara terakhir yang mendapatkan Televisi, aliran listrik dan jalan raya, Negara yang di jalan-jalan banyak plang kayu bertuliskan “Terimakasih” entah untuk apa. Negara yang bandaranya seperti terminal, kendaraan harus berhenti jika ada anjing atau hewan lain lewat. Tapi juga Negara yang banyak dikunjungi orang asing untuk mencari ketenangan. Ya, disini kebahagiaan adalah kebijakan Negara.

Jika ada Negara yang bahagia karena uang. Mungkin itu adalah Qatar. Qatar adalah Negara yang mendadak kaya seperti habis menang lotre. Dan lotre itu adalah cadangan minyak yang tersimpan di lapisan bawah tanahnya. Tapi apakah benar mereka bahagia? Eric Weiner terbang kesana untuk memastikannya. Sesampainya disana dia kesulitan untuk menemukan orang Qatar yang sebenarnya. Supir taksi adalah orang India, buruh orang Nepal, Pramusaji orang Indonesia atau Asia Tenggara lain, pramugari terlihat seperti multi etnik, dosen orang Amerika atau Eropa. Dimana orang Qatar? Qatar memang lebih bisa dikatakan sekelompok suku yang mendirikan sebuah Negara. Dengan kekayaan melimpah dan penduduk amat sedikit (anggota dinasty kerajaan), mereka mendatangkan orang dari Negara lain untuk menjalankan negaranya. Bahkan hakim di Qatar bukan orang Qatar. Bahkan—ini yang gak susah—mereka berniat untuk membeli budaya. Karena Qatar tak punya Budaya. Pada akhirnya penulis berhasil menemui orang Qatar asli melalui bantuan temannya. Ia melakukan wawancara. Eric bertanya apakah mereka bahagia. Mereka mempertanyakan pertanyaan itu. Mengapa harus mempertanyakan kebahagiaan? Dan akhirnya mereka menjawab kalau mereka bahagia. Sambil menambahi: “Jika anda ingin mengetahui kebahagiaan sejati, anda harus menjadi Muslim”. Sebuah pernyataan yang kemudian dianalisis oleh Eric. Kaitan Antara kebahagiaan dan agama memang telah lama di bahas. Dan itu signifikan. Bukan hanya Islam. Agama lain pun demikian. Maka yang berpengaruh itu adalah keyakinan terhadap sesuatu, apapun itu. Begitu kata Eric. 

Lalu, mungkin untuk sebuah penyeimbang, Eric mencari Negara paling tidak bahagia. Dan itu adalah Moldova. Ini juga berdasarkan statistic Veenhoven. Dengan terlebih dahulu menyingkarkan Negara lain yang tidak bahagia karena perang, kemiskinan dan rezim represif. Kata Eric, bahkan namanyapun terdengar menyedihkan: Moldoooova.
“Apa kabarmu hari ini Joe?”
“Tidak begitu baik. Agak Moldooova”
Ha ha ha… ya ya.. Moldova adalah Negara pecahan Uni Soviet. Dan penduduk Moldova mengatakan ini adalah salah satu sumber ketidakbahagiaannya. Mereka mengalami kebingungan identitas. Orang Rusia mengganggap mereka orang Armenia. Orang Armenia menganggap mereka Rusia. Begitulah. Maka kebahagiaan di Moldova adalah berada di tempat lain.

Eric terbang ke Asia lagi. Kali ini Thailand. Negara yang penduduknya suka tersenyum, katanya. Dan senyum identic dengan bahagia. Walaupun pada kenyataannya ada banyak kosakata senyum di Thailand. Senyuman saya mengagumi anda, senyuman menandakan saya tidak setuju dengan anda tapi silahkan melanjutkan ide buruk anda. Senyuman sedih, dan senyuman mencoba untuk tersenyum tetapi tidak bisa. Ha ha.. Orang Thailand tidak suka berpikir. Dan mereka mengatakan berpikir itu mengurangi kebahagiaan. Mereka toleran terhadap segala sesuatu. Menganggap sebuah ketidakberuntungan jika memang harus terjadi, terjadilah. Mai pen lay. Tidak apa apa. 

Negara berikutnya adalah Britania Raya. Inggris. Negara yang penuh kesopanan dan tata karma. Di bagian Negara ini ada yang tidak terlalu bahagia. Sebuah daerah bernama Slough. Dan sebuah acara reality show dibuat dengan judul “Making Slough Happy”. 50 relawan dikumpulkan dan dikarantina. Mereka mengikuti kegiatan dan pelatihan untuk menjadi bahagia. Nanti seusai acara mereka akan di kembalikan ke lingkungan semula untuk menjadi agen kebahagiaan. Eric ingin melihat seperti apa usaha ini dilakukan. Ia menemui sutradara acara, beberapa relawan yang terlibat dan mengunjungi Slough. Slough memang menjemukan. Namun begitu, 2 orang relawan yang ia temui tampak bahagia. Dan sang sutradara mengatakan perubahan itu—merubah masyarakat menjadi bahagia—itu sangat mungkin. Jadi, kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung. Bisa diupayakan.

Dan sampailah di India. Negara yang penuh kontradiksi kata Eric. Kedamaian hati di Ashram (semacam tempat penyucian jiwa) bersanding dengan kebisingan. Gedung2 hi-tech bercampur dengan perumahan kumuh. Karyawan perusahaan TI yang juga percaya keajaiban Guru –Ji. Seorang pembantu miskin tapi bahagia. Ini semua kontradiktif. Penulis mengikuti pelatihan di Ashram selama tiga hari. Tinggal di rumah seorang seniman yang anti-asram. Berdiskusi tentang penelitiannya dengan orang2 yang datang dan pergi ke rumah itu. Berdiri di teras dan memandani rumah kumuh bercampur gedung hi-tech. Memeperhatikan gadis kecil yang mengorek sampah sambil memegang boneka kotor di tangan kirinya. Dan ini menjebol tembok kekerasan hatinya. Di India, Eric juga berhasil tidak minum caffeine selama beberapa hari. Merasa tenang dan tidak teralalu menggerutu. Padahal India begitu hiruk pikuk. India adalah pesta perjamuan untuk telinga. Semuanya bising. Merasakan ketenangan didalamnya, itu kontradiktif. Eric membenci Negara ini sekaligus mencintainya. Sebuah kontradiksi lain. 

Kembalilah ia ke Negara asalnya Amerika. Dia bercerita banyak orang di Amerika yang bepergian. Mencari tempat yang membahagiakan. Suatu tempat dianggap begitu membahagiakan, maka kemudian orang2 berbondong2 pindah kesana. Hingga lama kelamaan hal itu menjadikan tempat itu tidak lagi membahagiakan. Mereka mencari tempat lain lagi. Berpindah lagi. Sekonyong2 tempat itu penuh lagi oleh para pendatang. Begitu terus. Mulai dari daerah tropis di Miami kemudian yang baru2 ini adalah pegunungan di Carolina Utara, daerah bernama Asheville. Mereka mengatakan mereka bahagia di tempat itu. Tapi bagaimanapun ketika mereka ditanya, dimana mereka ingin meninggal dunia? Mereka akan menjawab di daerah asalnya. Jadi, di Amerika, bahagia adalah Rumah. Tempat kita selalu ingin pulang (ini kata2ku ha ha)

Yang sudah kuketik ini, sebanyak 1.1714 kata adalah baru paparan isi bukunya. Belum tanggapanku dan apa yang berkecamuk di otakku ketika membaca buku ini. Ha ha.. Seperti yang kebanyakan kulakukan pada setiap buku yang kubaca. Ini semacam membaca interaktif. He he. Reaksi terbanyak adalah di Bab pertama. Pertama kali aku membaca buku ini. Kemudian menyurut seiring dengan mendekati terselesaikannya buku. Jadi mengalami trend kritik yang menurun. Yang stabil itu sensasi humornya. 

Masing2 kita mempunyai konsep mengenai kebahagiaan kurasa. Sesederhana mungkin. Maka membaca konsep yang begini serius pasti ada letupan2 pemikiran. Untuk kasusku itu pasti. Sudah kukatakan aku menertawakan ide ini. Mereka ini segitu kurangkerjaannya ya, sampe meneliti kebahagiaan. Bahkan, look! ada profesornya, ada databasenya. Walaupun aku sampai juga di titik pemahaman, bahwa ini memang sesuatu yang layak diteleti. Hanya aku saja yang terlalu menyepelekan.

Di bab pertama penulis banyak menyebut teori kebahagiaan. Dan tentu saja alat ukurnya. Saat itu aku langsung mengukur kebahagiaanku. Dari skala 1-100 aku 80an lah ya.. Ya aku bahagia sekali malam ini. Di perjalanan, dalam kereta, membaca buku bagus, berdiskusi dengan teman, smsan ha ha.. Aku bahagia. Tapi segera mengalami rasionalisasi. Aku sms temanku dan menanyakan tingkat kebahagiaannya. Katanya dibawah 50. Dikit banget.. kataku. Kemudian aku merenung. Dan saat itu juga tingkat kebahagiaanku turun mungkin sampai dibawah 50 juga. Kemudian, kata penulisnya: Manusia adalah makhluk lima menit terakhir. Dalam satu penelitian, orang yang menemukan koin sepuluh sen di trotoar lima menit sebelum diberi pertanyaan mengenai kebahagiaan melaporkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dengan keseluruhan kehidupan mereka dari pada mereka yang tidak menemukan koin sepuluh sen. Kesindir dong gue!!

Kemudian teringat suatu hal. Sebuah eksperimen. Suatu kali. Aku pernah ikut pelatihan. Pelatihan bisnis untuk para pegiat UKM sebenarnya. Tapi disitu salah satu trainer melakukan sebuah uji coba sederhana. Peserta diminta berpasangan dengan orang sebelahnya. Berhadap2an. Mereka diminta memjamkan mata dan bersalaman. Salah satu dari pasangan itu diminta membayangkan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya. Sesuatu yang indah dan tak terlupakan. Setelah sekian waktu, mereka yang bersalaman ini suit. Hampir bisa dipastikan yang menang adalah yang tadi membayangkan peristiwa bahagia dalam hidupnya. Percobaan ini juga bisa diubah menjadi membayangkan yang buruk. Atau janjian untuk seri (tidak ada yang kalah atau menang) saat suit tanpa berkomunikasi. Dan banyak yang berhasil. Untuk percobaan yang terakhir itu lebih membuktikan adanya kekuatan telepati ketimbang kekuatan kebahagiaan. Aku ingin mencobanya saat itu juga di dalam kereta. Tapi sama siapa? Jadinya aku tidur saja. He he..

Selain tentang eksperimen diatas, hal lain yang kupikirkan saat baru membaca Bab 1 buku ini adalah: Bahagia dalam Islam itu seperti apa ya? Apakah itu menjadi sebuah tujuan yang harus diwujudkan dalam ajaran Islam? Apakah ada do’a memohon kebahagiaan. Karena pengetahuan kurang, aku sms temanku yang kuliah di UIN jurusan sastra Arab. Pertama2 aku Tanya Bahasa Arabnya bahagia itu apa?. Dengan begitu aku bisa tau apakah diantara do’a2 yang selama ini kuketahui ada kosakata bahagianya. Temanku menjawab: Sahaada. Dan ajaibnya, di beberapa lembar berikutnya, masih di bab 1 si penulis menyebut beberapa kosakata bahagia dalam berbagai Bahasa termasuk Bahasa Arab. Ha ha..

Aku mengingat-ingat, apakah ada kosakata itu dalam do’a2 berbahasa arab. Aku sulit menemukannya. Yang sering muncul dalam do’a umat muslim adalah keselamatan dan keberkahan. Kemudian aku sms lagi untuk memastikan. Bertanya, apakah ada do’a dalam Bahasa Arab yang ada kalimat sahaada-nya yang berarti meminta kebahagiaan. Temanku mau bertanya pada temannya yang lain karena dia sendiri tidak begitu paham. Disini artinya, kalaupun ada do’a seperti itu, itu jarang digunakan. Karena bahkan temankupun susah untuk menemukannya dalam ingatannya. Padahal aku yakin dia sering berdo’a. Sampai besoknya tidak ada jawaban. Aku jadi curiga. Jangan2 memang tidak ada. 

Do’a adalah harapan. Do’a adalah keinginan. Sesuatu yang kita niatkan. Semua agama punya do’a. Semua yang meyakini ada kekuatan mahadahsyat di dunia ini pasti pernah berdo’a. Dan kalau di dalam Islam, do’a adalah senjata kaum mukmin. Pemahaman yang baru2 ini kusadari, do’a adalah keyakinan itu sendiri. Keyakinan bahwa ada kekuatan Allah yang bisa membuat segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin dan sebagainya. Seseorang yang punya keyakinan ini tidak akan pernah putus asa. Betapapun terhimpitnya, betapapun tak berdayanya. 

Karena do’a itu harapan atau keinginan. Ia sering diucapkan untuk mendapatkan tujuan2. Jika bahagia adalah keinginan dan tujuan yang penting untuk dicapai. Maka seharusnya ada do’anya. Aku tidak tau di agama lain. Tapi di Islam, ternyata itu bukan kata yang familiar dalam do’a.

Kita memang bisa berdo’a apa saja pada Allah. Dan itu tidak harus menggunakan Bahasa Arab. Tapi, kalau kita menjunjung tinggi sunnah—dan itu merupakan keutamaan muslim—maka ada baiknya berdo’a menggunakan do’a yang diajarkan oleh RasulAllah. Banyak buku2 do’a yang sesuai tuntunan Nabi. Beberapa sering dibaca bersama setelah sholat oleh imam dan jama’ah. Ada do’a2 yang sifatnya pengiring kegiatan sehari-hari. Ada yang digunaka setiap saat. Salah satunya yang umum ucapan adalah Tazmiah: Bismillahhirrohmaanirrohim. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ini kalau dilihat secara arti ndak ada permohonannya. Hanya menyertakan Allah dalam apa yang akan dikerjakan. Kalau sudah menyertakan Allah ya jadi tidak boleh berdusta, harus mengupayakan yang terbaik dan segala tindakan positive lain. Serta tentu saja meninggalkan tindakan negative atau merugikan. Nah lo!

Do’a yang menyertai kegiatan sehari-hari secara umum adalah penyertaan Allah seperti diatas, permohonan keselamatan dan perlindungan, dan ucapan syukur. Bersyukur dibangunkan setelah tidur, bersyukur diberikan rezeki, dan lain-lain. Selain itu, yang sering muncul adalah Barokah. Salah satunya dalam ucapan salam. Assalamu’alaikum warohmatullahhi wa barokaatuh. Kurang lebih artinya: Semoga keselamatan menyertaimu, dan semoga kamu mendapatkan rahmat dari Allah juga keberkahan (barokah).

Orang Kristen ku dengar sering juga berkata: semoga Tuhan memberkati. Yang dalam Bahasa inggris God Bless You. Bless=keberkahan. Bliss=kebahagiaan (sebuah kosakata yang baru kuketahui saat baca buku ini).

Apa itu Berkah/Barokah? Perlu belajar di sub sub sub sub Bahasa Arab untuk bisa menafsirkan arti kata Bahasa Arab. Dan aku belum pernah membaca salah satu diantara pendapat para cendikiawan tentang arti kata itu. Satu2nya yang mudah2an bisa mewakili adalah yang pernah kubaca di salah satu buku tentang pernikahan (heuheu..). Aku lupa. Antara buku Barakallahhulaka-Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A.Fillah atau Kupinang Engkau dengan Hamdalah milik Faudil Azhim. Kurang lebih begini:

Salah satu tujuan menikah adalah Barokah. Seperti yang termaktub dalam do’a RasulAllah pada pernikahan Ali dan Fatimah. Barokallahhulakuma wa baroka ‘alaikuma, wajama’a bainakuma fii khoi (jadi bukan: wish u happily ever after).  Apa itu barokah? Penulisnya memberi contoh. Ada seorang lelaki. Menggunakan kaos oblong dan sandal jepit. Ia sedang membeli pecel lele di sebuah warung tenda. Beberapa lembar uang kumal dia keluarkan dari sakunya. Hujan turun. Dia tidak membawa payung atau mantel. Karena takut bungkusan makanan basah walaupun sudah dilapisi keresek, ia masukkan ke dalam kaos oblongnya. Bersiap berlari menembus hujan. (terus pas aku nulis paragraph ini temanku muter MP3 marry u’r daughter-nya Brian Mc. Night. heuuu pengen jitak)

Pertanyaannya, apakah dia tampak bahagia? Sepertinya sama sekali tidak, bahkan sepertinya menyedihkan. Dia malang sekali sepertinya. Tapi taukah anda. Lelaki itu saat membeli pecel lele, dalam pikirannya terbayang istrinya yang sudah menunggunya di rumah, dan betapa bahagianya dia nanti mengetahui suaminya pulang membawa bungkusan pecel lele. Dia akan disambut dengan senyuman terindah.. dia akan sangat bahagia melihat istrinya bahagia. 

Begitulah barokah. Sebuah perasaan yang lebih dari bahagia. T-T

Heuuu.. beneran, aku nggak bisa nyimpulinnya. Pokoknya gitu deh. Barokah itu bahkan ketika kondisi sesulit apapun kita tetap bisa merasakan ketenangan. Kita yakin bahwa apa yang terjadi ini adalah episode takdir yang harus dijalani dengan sepenuh ikhlas. Ketenangan itu sendiri muncul sebab rasa aman. Baik dari kesalahan manusiawi maupun dari ketidakridhoan Allah. Baiklah, sampai disini aku jadi tercenung. Krik krik krik.. aku gimana?

Balik lagi ke soal bukunya dan juga pendapatku—dan mungkin pendapat orang lain. Kebahagiaan memang mempunyai pengaruh besar dalam kualitas hidup. Contohnya sederhananya seperti eksperimen yang kuceritakan. Dan aku juga merasakan. Saat kita tidak sedang bahagia, rasanya semuanya kacau. Ada awan mendung yang melingkupi kepala kita. Kalau ketidakbahagiaan itu ada setiap hari bahkan memang jadi ciri suatu daerah, seperti di Moldova misalnya. Hidup begitu mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan.

Namun, meski demikian kebahagiaan bukanlah suatu tujuan hidup. Bukan cita2 tertinggi. Seperti yang dikatakan Guru-Ji seorang Guru India saat ditanya oleh Eric.
“Apakah kebahagiaan itu cita2 tertinggi? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita kejar?”
Guru-ji menjawab. “Ya, ada sesuatu yang lebih tinggi daripada kebahagiaan. Cinta lebih tinggi daripada kebahagiaan”

Kalau si Eric Tanya sama aku—dan mungkin juga oranglain. Jawabanku adalah keberkahan. Atau kalau Tanya sama Hasan Al-Banna dan pengikutnya, jawabannya adalah: mati di jalan Allah. Dan Eric bisa dipastikan langsung bergidik, dan mengganggap mereka teroris. He he..

Huffffftthh,, aku jadi mikir—dan ini diperkuat saat membaca bab soal Amerika. Mereka itu, yang tidak punya agama itu memang bingung sama hidupnya sendiri ya?. Membingungkan hal-hal sederhana seperti itu. Dan kebalikannya, kita ini membingungkan hal2 yang menurut mereka sederhana. Bagaimana menciptakan produktivitas yang tinggi. Bagaimana mengelola sumber daya alam ini. Bagaiamana menciptakan produk elektronik canggih. Ha ha.. Sekali lagi jadi inget, sebenarnya apa yang benar2 bisa membedakan konstruk berpikir barat dan timur semacam ini. Orang timur yang penuh nilai spiritual dan barat yang penuh nilai capital. Seperti yang pernah kutulis di sini.

Anehnya lagi. Hal2 yang kita anggap sangat sederhana itu bisa mereka teliti dan cari dengan sangat serius. Bahkan dalam jangka waktu tertentu bisa jadi disiplin ilmu yang dipelajari di uneversitas2. Diyakini sebagai sebuah kebenaran. Padahal berangkat dari ketidakyakinan. Ruut Veenhoven, professor kebahagiaan itu dewasa ini berada di garis depan bidang yang menghasilkan ratusan makalah riset setiap tahunnya. Juga diselenggarakan konferensi kebahagiaan dan Journal Of Happiness Studies (yang disunting Veenhoven). Mahasiswa di Claremont Graduate University di California sekarang dapat memperoleh gelar M.A atau Ph.D dalam psikologi positif—dalam kebahagiaan.

Aku membayangkan, suatu kali sambil mencuci di kamar mandi berpikir tentang dampak keajaiban kutukan/sumpah. Bagaiamana sebuah kutukan dapat benar2 terwujud. Dan kemudian itu menjadi suatu kajian linguistic sedikit mistic. Ha ha..

Ya ya ya.. aku pikir, kadang manusia itu menjadikan manusia sebagai objek penelitian dengan mengesampingkan fakta kalau mereka juga manusia. Penulisnya pun kurang lebih berpendapat sama tentang hal itu. Tentang WDH. Tentang Veenhoven. Bahwa disini di penelitian tentang kebahagiaan ini ia berperan sebagai wasit. Wasit yang netral. Seolah2 dia tidak punya perasaan dan subyektifitas. Tapi di sisi lain, aku juga sadar aku pernah mempunyai pertanyaan serupa tapi bukan tentang kebahagiaan. Setidaknya buka kebahagiaan individu.

Pekerjaanku—dan memang minatku—adalah pemberdayaan masyarakat. Meski ini adalah upaya untuk menolong orang lain agar bisa menolong diri sendiri atau give power to powerless, bisa dipastikan ada intervensi disana. Pekerjaanku adalah mengintervensi orang seolah-olah mereka memang butuh intervensi itu. Aku pernah sangat pusing dengan hal ini. Tujuannya kan selama ini untuk kesejahteraan masyarakat. Memang masyarakat yang sejahtera itu seperti apa? Pusing ya?

Seperti kata Butet Manurung di buku Sokola Rimba. Manusia itu kadang sok tau apa yang baik buat manusia lain. Itu pendapatnya tentang beberapa intervensi LSM dan pemerintah pada orang rimba. Padahal menurutnya mereka baik2 saja. Dan mereka memag akan tetap baik2 saja selama ada hutan. Mereka tidak butuh baju, rumah permanen dll. Ini Cuma contoh pendapat lain mengenai intervensi manusia pada manusia lain. Walaupun kalau dipikiranku pendapat Butet agak kontradiktif.

Hah, satu hal yang tiba2 muncul ketika aku hampir menutup buku ini. Terstimulus oleh kata2 Guru-ji tentang yang lebih baik dari kebahagiaan yaitu cinta. Entah ini sudah pernah dipikirkan orang lain atau belum.
Cinta itu tak pernah selesai didefinisikan. Namun begitu, cinta juga selalu bisa jadi jawaban atas pertanyaan yang paling membingungkan. Ha ha.. Cobalah :)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar