Jumat, 10 Januari 2014

Another sotoy comment buat Lontara Rindu

Source gambar
Judul: Lontara Rindu
Penulis: Gegge Mapangewa
Penerbit: Republika
Perolehan: Dipinjami temannya Go Ku draGom Bal

Novel ini bercerita tentang seorang anak bernama Vito yang bayangan tentang Ayah dan saudara kembarnya begitu samar2. Ia masih belum sekolah ketika Ayah dan saudara kembarnya Vino pergi. Terlalu banyak pertanyaan tentang kedua orang yang ia sayangi itu. Namun begitu ia tidak tau mereka dimana. Bahkan hanya untuk sekedar mencari informasi ttg mereka ia pun tak bisa. Mama dan Kakeknya selalu menghindar jika disinggung sedikit tentang Ayahnya. Usianya saat dalam cerita ini adalah berkisar 13-14 tahun (Kelas 1 SMP).

Suatu kali ada kejadian di Sekolah yang membuatnya tertekan. Vito yang periang dan suka bercerita berubah menjadi pendiam. Dalam momen puncak saat ia tertekan itu, ia bahkan semakin merindukan Ayah dan saudara kembarnya. Hingga suatu hari ia bertemu dengan Pak Saleng, makelar ternak yang dulu pernah berteman dengan Ayahnya. Darinya akhirnya Vito tau, Ayahnya dan saudara kembarnya pernah bekerja di Kalimantan. Selang beberapa waktu, Mamanya akhirnya juga membuka mulut tentang keberadaan Ayahnya.

Singkat cerita, Vito akhirnya tau kalau perpisahan orangtuanya dikarenakan pengkhianatan Ayahnya. Dan itu terjadi karena Ayahnya yang tidak bisa meninggalkan keyakinan agamanya, agama khas Sidenreng Rappang (latar dari cerita ini) yaitu Tolotang (di KTP disebut Hindu). Kisah pernikahan kedua orangtuanya pun tidak mudah. Ini diceritakan secara pararel oleh penulis.

Akhirnya setelah sebelumnya mencari sendiri dan tidak berhasil, Vito bertemu dengan Ayahnya dan Vino lewat drama penculikan yang membuat panik Ibu dan Kakeknya. Vito sendiri tidak merasa diculik, karena ia dibawa baik2 oleh orang suruhan Ayahnya. Namun ia menemukan Ayahnya dalam keadaan tidak sadar bahkan sampai ia meninggalkannya. Vito kembali pada Ibunya yang dipastikan sangat mengkhawatirkan dirinya.Tapi ia berjanji pada Vino dan Ayahnya untuk kembali setelah meminta izin pada Ibunya. Kisah berakhir disitu.

Heuu aku kok nggak nangis ya..? Baik selama atau setelah baca buku ini. Dengan segala endorsmet dan sinopsis yang ada di sampul bukunya, juga tanggapan2 pembaca lain di goodreads, kupikir setidaknya kalaupun tidak menangis akan ada perasaan hangat yang menyeruak. Ini memang pandangan yang subjektiv, tapi dari orang yang mudah tersentuh. He he... 

Saat baru selembar dua lembar membacanya, aku kok merasa penulisnya agak mengadopsi atau setidaknya terinspirasi sekali dengan gaya penulisan Andrea Hirata ya? Dengan warna lokal yang kental itu, ironi2 kehidupan yang diceritakan, menertawakan kehidupan, mimpi dan perjuangannya. Hanya saja penggunaan sudut pandang orang ketiga yang tau segala-galanya seperti Tuhan disini agak mengganggu. Memang tidak mungkin menggunakan Vito yang masih SMP menjadi pencerita disini atau sudut pandang orang pertama. Kecuali jika alurnya dibuat mundur. Tapi, menggunakan orang ketiga yang ada dicerita itu sepertinya akan lebih baik. Seperti Pak Amin, atau mungkin Ibunya. Karena, ada cerita yang diceritakan oleh narator/penulis disini yang pada akhirnya diceritakan lagi oleh salah satu tokoh dalam cerita. Jadi numpuk kan. Misal, kalau memang kisah tentang nenek Malomo itu akan ada di bagian cerita yang disampaikan oleh Pak Amin ke murid2nya, apa yang disampaikan di prolog itu tidak perlu.

Oh ya, kisah ini tidak hanya tentang Vito, tapi juga tentang teman2nya, guru2nya, dan orangtuanya. Tapi sayangnya perpindahan dari cerita satu ke cerita lain terasa kurang halus. Kalau dari cerita Vito ke cerita Ilham dan Halimah--yang merupakan orangtuany-- oke laah.. Tapi yang tiba2 pindah ke Irfan (teman Vito) misalnya atau Pak Amin, agak kurang halus.

Satu lagi. Kisah ini juga agak kurang natural. Aku memang tidak paham bagaimana umumnya pola kekerabatan orang2 Sulawesi. Apakah ekspresi kasih sayang seperti memeluk, mencium, dan mendekap dari belakang saat tidur itu wajar disana. Tapi secara umum, orang desa, beradat, apalagi laki2 tidak seekspresif itu. Itu tabu.

Di Laskar Pelangi seri 2 atau Sang Pemimpi beda. Dia natural. Justru ketika digambarkan hubungan Ikal dan Ayahnya yang begitu kaku dan dingin, ada emosi yang sangat terasa disana dan sampai pada pembaca.

Hadeuuh,,aku ini. Penulis juga bukan, apalagi juri lomba nulis, tapi komentarnya sungguh terlalu. He he.. Padahal ini sama jurinya aja udah dijadiin novel terbaik. Yahh, ini hanya tanggapan umum seorang penikmat karya sastra. Jadi sebenernya, ndak usah digubris ajja.. Dimana-mana pengamat memang selalu bisa berkomentar macam2. Padahal dia sendiri belum tentu bisa.

Oya, kalau soal konten dan ide cerita sebenarnya ini sangat bagus :)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar