Rabu, 29 Oktober 2014

Tuban #2

Hee... jadi suatu hari di bulan Mei rasanya diem di kosan jadi begitu menyiksa. Dan main di belantara kota gak minat. Butuh tong sampah buat buang ingus dan jalan panjang buat lari dari kenyataan. Akakakak... Emang lagi lebay banget. Dan semuanya itu tersedia di Tuban. Ada Jul disana soalnya. Jadi larilah aku kesana. Dari Surabaya ke terminal Bungurasih naik motor, taruh di parkir inap. Trus naik bus jurusan Surabaya-Semarang. Yang ekonomi aja biar irit. Cuma 14.000. Donlot lagunya Kla Project: Meniti hutan cemara *manusia jaman kapan aku ini. Sepanjang jalan ituuu aja lagunya. Haha..

Setelah lelah bertarung dalam kerasnya hidup,
kubutuh untuk sejenak menenangkan nurani...

Hehe, dramatis yaa...

Sampe Tuban agak siang. Harusnya bisa langsung jalan. Tapi dasar orang lagi lebay, ngebreeeel dulu. Nyampah. Jadilah sore baru jalan: ke pantai Boom. Kata Jul, kalau kesana di waktu tertentu, kita bisa liat ubur-ubur. Bisalah entar sambil nyobain setrumannya. Pantai Boom ini adalah deretan pantai utara pulau jawa. Jadi dia tepian dari laut jawa. Jika kamu mendayung dari sini lurus ke Utara ntar sampai Sulawesi. Atau kalau agak serong kekiri bisa sampai Kalimantan. Lokasinya ada di sebelah utara alun-alun Tuban. Dilewati bus Semarang-Surabaya. Masuknya bayar. Tapi lupa, bayar berapa! ha!

Sampai disana matahari udah turun. Ketemu sama laut jadi cakrawala. Atau setidaknya, begitulah kelihatannya :D Bahasa inggrisnya: Sunset. Sayangnya ternyata waktunya nggak pas buat ketemu ubur-ubur. Jadi kita cuma jalan muterin pinggiran pantai tapi nggak nginjek pasir. Sebabnya, settingan tempat wisata ini emang nggak ketemu pasir. Semacam daratan yang menjorok ke laut. Permukaan daratannya lebih tinggi dari laut. Pinggirannya di sisi yang rendah ditaruh berbongkah-bongkah batu. Batu apaan ya itu namanya? Mirip batu aspal tapi guede-guede. Trus, ada ruas konblok untuk pejalan kaki yang mengelilingi sepanjang daratan itu. Karna sore, laut lagi surut. Kalau lagi pasang, bongkah-bongkah batu itu nggak keliatan. Tenggelem. Banyak perahu-perahu kecil sandar di tepian. Di ujung jarak pandang arah utara ada titik-titik cahaya yang berjalan lambat. Mungkin itu cahaya lampu kapal penumpang atau barang. *nulis ini sambil mikir, itu kenapa namanya pantai ya? bukan tanjung? heuheu

Kita keliling sampai malem. Keluar dari pantai, menuju alun-alun. Jajan. Tapi dasar lagi gak minat makan, jadi makannya buat syarat aja. Makan sambil memandangi masjid raya Tuban di seberang. Masjid yang kubahnya warna-warni. Pink, biru, kuning. Masjid, alun-alun, pantai dan di dekat sini juga ada makam sunan Bonang sepertinya nggak pernah sepi pengunjung. Ditambah lagi ini jalur pantura yang nyambungin jawa timur sama jawa tengah. Bus-bus yang lewat ada aja.

Setelah makan kami pulang. Menyusun rencana mbolang hari berikutnya. Aku sama Jul agak punya beberapa kesamaan. Selain sering ngobrol nggak jelas tentang hal-hal yang agak filosofis, point of view kita kalo lagi mbolang juga hampir sama. Kan ada orang yang point of view-nya lebih ke makanan/kuliner atau alam (gunung, laut, danau, goa dll). Nah, aku suka ngamatin orang, masyarakat, budaya, warna lokal, seni dikit2. Jul juga gitu. Kalo alam yaa.. jadinya selalu kulihat sebagai sarana atau tempat hidup bagi orang-orang itu. Gampangnya, julukan pecinta alam jadi agak kurang cocok sama aku, kalau itu diasosiasikan ke orang yang hobi naik gunung. Heuheu. Jadi bagiku terminal, kereta api, pasar dan tempat semacam itu sudah bisa jadi tempat wisata. Atau pedesaan, perumahan pinggir rel kereta dst. Tapi itu semua tergantung mood.

Moodnya kali ini lagi pengen ke alam *gimana sihhhh. Hahaa... namanya juga orang ga normal. Jadi mau ke air terjun Nglirip. Oya, tempat tugas temanku ini ada di Desa Temandang, Kec. Merak-urak, Kab. Tuban. Kalau aku mau kesana naik bus seperti yang kuceritakan di awal, begitu masuk Kab. Tuban, bilang sama kernet busnya: "Pak, turun di PATUNG". Tadinya aku juga gatau 'patung' tu tempat apaan. Ternyata dia adalah patung yang ada di tengah perempatan besar jalan semarang-surabaya.

Turun dari bus, jalanlah sediki ke arah selatan. Cari angkot jurusan Kerek. Bilang lagi ke supirnya, turun di Pom Lama. Entah itu apa artinya, tapi menurut jul itu julukan suatu tempat yang dulunya bekas Pom Bensin. Semacam itu. Trus gimana cara ke air terjun Ngliripnya? Haaa...

Jadi dari Desa Temandang tadi kita naik motor ke arah Pasar Kerek. Dari sana nanya-nanya jalan menuju Air Terjun Nglirip. Ntar kan dikasih tau sama orang-orang disana. Orang Indonesia yang ramah-ramah. Udah, gitu aja petunjuknya. Namanya juga mbolang. Bakal lebih seru kalo nyari-nyari lokasi sendiri. Apalagi pake bonus nyasar-nyasar dikit. Atau,, buka hape, liat GPS. Hahaa... Aku kasih clue satu lagi deh, abis dari pasar itu jalannya lurus aja kok :D *ngelesnya ampuuuun

Because of mau ngisi perut. Kita jajan-jajan dulu di pasar. Dan aku kalo liat makanan-makanan menarik dan sederhana (itu banyak banget di pasar) tu rasanya mau dibeli semua. Segala ganyong juga dibeli. Padahal lagi ogah makan. Akhirnya kita sarapan kupat tahu on the spot. Alas makannya pake daun jati. Kali ini rada semangat makannya. Nyem.

Nyari yang jual kupat tahu itu juga pake acara nyungsep-nyungsep di dalem pasar. Heuheu. Dan kita kayak elien karna bawa-bawa ransel n kamera. Yang gini-gini ni yang kumaksud sebagai perjalanan sesungguhnya tadi. Point of view. Gak penting tujuannya mana, hal-hal yang kita temukan sepanjang jalan rasanya sudah cukup membahagiakan. Apalagi bareng temen yang 'nyambung'. Rasanya nyasar di tempat pembuangan umum sekalipun bisa sok-sok kita maknai dan tertawakan bersama-sama. Haha.

Tak perlulaaah akuuu keliling duniaa, karnaa kau disiniii..
*begitu kata Gita Gutawa di lagu ost-nya Sang Pemimpi

Udah gitu, kita mampir lagi pemirsa. Ke desa sentra produksi Bathik Ghedok. Lokasinya deketan sama pasar. Namanya Bathik Gedhok karena bathik itu ditulis di atas kain gedhok. Kain yang dibuat dari serat-serat tumbuhan. Meski ada juga yang di kain biasa. Kita sempat liat proses pembuatan dan kain-kain bathik yang udah jadi. Liat thok. Heuheu. Emang dasar turis kere.

Di Tuban ini ada perusahaan semen nasional (BUMN). Dan udah jadi aturan sekarang, kalau perusahaan harus punya dana CSR (Coorporate Social Responsybility). Salah satu bentuk tanggungjawab sosial mereka untuk warga di lingkaran terdekat. Maka, nggak heran kalau segala aktivitas warga di sini ada jejak-jejak dukungan perusahaan. Contohnya ya di desa sentra bathik gedhok ini. Kelihatan banyak dukungan yang diberikan perusahaan untuk kegiatan sosial ekonomi mereka. Setidaknya dari logo-logo perusahaan yang nempel dimana-mana. Temanku sendiri, Juliem, nyasar sampe kesini juga dalam rangka sebagai implementator program CSR perusahaan yang sama. Aku? yang ngurusin pencairan dan pembekuan dana. Haghag :v

Kalau secara motif, jujur aja bathik gedhok ini aku nggak terlalu tertarik. Heeee... Entah gimana teknik pencelupan warnanya, tapi jadinya warnanya kayak kecampur-campur dan burek liatnya XD. Tapi memang itulah ciri khasnya.

Perjalanan 'nyari' air terjun dilanjutkan. Sempet mampir lagi di sawah yang backgroundnya perbukitan. Poto-poto.

Satu hal lagi tentang Jul itu adalah dia orangnya obsesive compulsive. Haha. Susah dihentikan kalau hasratnya belum terpenuhi. Semenjak ngerjain proyek di Tuban ini, hasratnya begitu menggebu di fotography specialist kamera pocket. Dan dia suka sekali menjadikan aku model. Karena menurutnya aku kebanyakan gaya XD. Kayaknya aku ngupil juga bakal dia potoin dengan cari anggel maksimal.

Akhirnya setelah dipaksa-paksa. Jul mau menghentikan kegiatan memotretnya dan melanjutkan perjalanan. Oyaa, di sebrang sawah itu ada semacam saung/teteg yang jadi kayak angkot shelter. Pas kita dateng, ada embah perempuan bawa keranjang yang katanya lagi nunggu angkot. Dia udah lama disitu. Pas kita pulang, dia belum dapet-dapet angkotnya :') Padahal kita disitu lebih kali setengah jam. Heuheu

Daan akhirnya nyampe juga di Nglirip. Haaa... Seumur aku hidup udah 3 kali mengunjungi air terjun. Pertama, air terjun di kaki gunung Merapi, tapi lupak namanya apaan. Kedua, Coban Rondo di Malang. Dan ketiga ya Nglirip ini.

Lokasinya ada di pinggir jalan. Tapi harus melewati beberapa rumah warga. Jalannya agak turun. Jadi rumah-rumah warga ini berada lebih rendah dari jalan tempat kendaraan lewat. Seperti kontur jalanan di perbukitan. Pas mau masuk ada petugas ngasih tiket sama teh cap botol satu bungkus. Teh hitam kasar. Ini harus dituker sama sejumlah uang. Lupa lagi aku jumlah uangnya berapa. Hahaa..

Pas air terjunnya udah keliatan, akuuuuu... biasa aja! hahaa... emang air terjunnya biasa aja. Setidaknya begitu kesan pertamaku. Dia nggak terlalu tinggi. Dan aku nggak bisa ngira-ngira ketinggian sesuatu yang udah lebih dari 6m >,< Masih tinggian Coban Rondo. Udah gitu hawanya enggak sejuk. Alias panas. Dan karna ada di perkampungan jadi nggak ada spot enak buat sekedar ngelamun. Tapi, uniknya air yang menggenang di ceruk dari air terjun ini warnanya hijau toska. Kalo yang lain kan biasanya ya kayak air sungai. Terus alirannya diteruskan melewati bebatuan yang warnanya kuning langsat karna terlapisi lumpur.

Capek jengkang-jengking poto-poto, kita pulang. Nah, kalau kalian liat hasil jepretan kita jadinya beda kasus. Pasti ngiler pengen liat langsung. Emang bagus kok tempat ini buat dipoto. Hehee.. Mungkin menurut kalian lokasi aslinya juga menakjubkan. Kan selera orang beda-beda yaa...

Sebelun pulang, kita mampir dulu di rumah salah satu warga yang ada warungnya. Beli rujak. Sama kopi. Pas mau ngambil motor di parkiran, mampir lagi ke rumah warga yang cuma sepetak ruangan dari bambu. Orangnya di dalem lagi bikin tikar dari anyaman daun. Entah daun apa -_-" Wawancara dikit, terus baru balik.

Pulangnya ini, kita ambil jalur beda. Tapi aku nggak bisa jelasinnya. Pokoknya kalau pas berangkat kita keluar gang belok kiri. Pas dateng, kita dari jalan sebelah kanan dari gang. Hahaa..  Navigasi daratku buruk banget.

Di jalanan ini kita GJ juga. Kan banyak dataran-dataran luas berumput mirip sabana di kanan Kiri. *Padahal gaktau sabana beneran kayak apa. Nah kita mbleot lagi. Markir motor di parit berumput trus naik ke semak-semak yang emang posisinya lebih tinggi dari jalan. Nah, aku malah bahagia disini. Karna semaknya penuh bunga :D Bunga kecil-kecil warna ungu pucat, putih, kuning hyahaaa... Poto-poto dong! Dengan mengabaikan teriakan orang-orang yang lewat ngatain kita. Padahal kita udah berusaha nyungsep biar nggak keliatan. Malu sih sebenernya. Tapi, biarlah. Abis ini kan nggak ketemu lagi. Haaa...

Udah. Gitu aja :D

Share:

0 komentar:

Posting Komentar