Minggu, 24 Agustus 2014

Ring of Fire

Terlalu banyak yang ingin dikatakan itu seringkali justru membuatku tak bisa berkata-kata.

Untuk paragraf 1-4 ini boleh diabaikan :D
Pertama-tama, aku mau berterimakasih dulu ke Julaikah yang secara dengan agak terpaksa memberikanku buku ini. Kalau nggak inget aku bakal nyebrang pulai nan jau disana, mungkin nggak akan sedramatis ini. Sampai dikasih buku segala. Dan temen2 lain juga yang ngasih macem2. Yang ngasih sepenggal episode kebersamaan. Singkat maupun panjang. Semoga kenangan baik juga yang tersimpan atasku diingatan kalian. Hee…

Trus kenapa jadi bahas ini. Lagian setelah aku pikir2, perpisahan sungguhan itu kan nggak ada. Ntar juga ketemu lagi. Hee.. Siapa juga yang bisa jamin aku nggak bakal balik lagi ke sekitaran “Jawa” dalam waktu kurang dari setengah tahun. Seperti pada hari aku mendapatkan buku ini, kemarin Selasa, 19 Agustus 2014 saat tiba2 aku muncul lagi di Kantor RZ Surabaya, menimbulkan reaksi bermacam-macam. Ha haa.. Bagaimana bisa aku muncul setelah pamit bilang mau ke Lampung dan seolah-olah takkan bertemu dalam jangka waktu yang lama. Yang sudah dilepas dan diantar dengan sangat heroic dan dramatis. Aku sih nggak segitu dramatisnya ngasih pengumuman. Yaa.. dengan tanpa perasaan mellow sedikitpun karena menyadari bahwa kita pasti ketemu lagi kokk. He he.. Lampung itu Cuma keliatannya aja jauh. Dan juga mengingat keinginanku yang masih ingin “berkeliaran”. Ini Cuma pulang. Dan itu bukan berarti aku takkan pergi lagi. Hweee..

Aku melihat-lihat buku2 yang lagi2 di beli Jul di Kampung Ilmu Surabaya. Awalnya dia mengajakku. Tapi aku cukup berkeras hati untuk tujuan utamaku ke Surabaya tentunya: beresin kerjaan. Diantara buku2nya aku paling kepo sama yang ini. Membaca pengantarnya dengan sangat antusias. Dan tercium bau petualangan yang seru kayaknya. Pertama, karena ini dibuat oleh orang luar. Selanjutnya karena lokasi2 penjelajahan yang aku belum pernah kesana, dannn apa yang mungkin didapatkan dari kolaborasi itu. Melihat diri Indonesia, dari mata orang luar. Yang bahkan aku sendiri belum tau. Entah seberapa antuasiasnya wajahku keliatannya waktu itu, sampe2 si Jul pada akhirnya mengatakan hal membuatku bahagia. “Yaudah mbak bawa aja bukunya” haaa…

Selanjutnya ritual membaca kembali kulakukan di dalam kereta api Sri Tanjung. Gerbong 3, kursi 11 C. Surabaya-Jogja. Bersama 5 teman duduk yang semuanya cowok. Serta sambil mengamati banyak penumpang yang berpenampilan seperti petualang. Setidaknya dilihat dari tas carriernya yang nongkrong di kabin kereta. Dugaanku mereka semua dari Rinjani. Pulang ke Jawa melewati Bali dan naik kereta dari Banyuwangi. Biasa, abis 17an. Dan aku lagi2 pengen jedot2in kepala karena kemaren juga hampir terhasut untuk berangkat. Ah sudahlah. He he..

Source pict
RING OF FIRE, Indonesia dalam Lingkaran Api. Tebal buku 400 halaman lebih. Ditulis oleh Lawrence Blair based on his adventures with his brother: Lorne Blair. Adik yang bersamanya melintasi rimba Kalimantan yang sangat berpeluang membuat kakinya patah dan terkena infeksi, namun justru hal tersebut terjadi di Bali, dekat rumahnya yang nyaman dan membuatnya meninggal. Hee.. Diterbitkan oleh PT. Ufuk Publishing House di tahun 2012 dari buku asli: Ring Of Fire, An Indonesian Odyssey edisi tahun 2010. Ada filmnya juga lhoo, dan buku ini adalah pelengkap yang tak dapat dipisahkan dari filmnya. Gitu kata penulisnya.

Hal yang membuatku tidak bisa berhenti membaca sejak pertama kali adalah cara penulisnya menulis buku ini. Dia bukan menulis, melainkan bercerita. Sedemikian mengalir dan asik, jadi kayak baca novel. Jadi membacanya aku bolak-balik berupaya membayangkan apa yang coba ia deskripsikan. Memimpikan aku yang ada disana. Di laut sebening-sebeningnya, di samudra saat langit telanjang tanpa tabir, di rimba hujan tropis, di padang sabana, di sungai2 panjang, di rawa, lembah dan ngarai. Mengamati, tumbuhan berjuta-juta spesies. Hewan yang mungkin dengan takut2 dan perasaan jijik tapi memesona. Dan sodara2 manusia yang entah bagaimana ditakdirkan jadi sangat berbeda dengan diri kita sendiri. Yang pasti melatih kemampuan sosialisasi tingkat tinggi.

Saat membayangkan tempat2 eksotis itu aku kesusahan. Ha ha… secara perjalananku paling ke Timur sejauh ini ke Madura. Dan paling Barat ke Lampung. Dan hutan paling rapat yang pernah aku kunjungi Cuma sekumpulan pohon di Merapi. Itu juga nggak dimasuki, Cuma dilewati. Karena sudah ada jalur pendakian terbuka. Dan kondisi yang ia jabarkan agak jauh dengan kondisi sekarang yang sudah banyak ditayangkan di TV. Secara,, perjalanan ini dia lakukan di tahun 70an. Dan oleh karena factor itu semua jadinya malah nggak sabar pengen menghabiskan buku itu segera. Kalau bisa ditelen, ditelen deh. Buku selesai dalam waktu 5 hari saja_yang menyebabkanku melewatkan beberapa agenda melancong di Jogja. Udah lupa haaa. Emejing!!

Tapi, pertama kali baca judulnya, sempat kepikir aku bakalan baca petualangan tentang beberapa gunung berapi di Indonesia. Yang diceritaan gunungnya, yang mengungkung Indonesia dengan lingkaran api. Tapiii,, ternyata deskripsinya lebih ke studi antroplogy, khususnya suku-suku tak dikenal dan mistik di Indonesia. Juga deskripsi flora dan fauna Indonesia. Hee.. tapi aku nggak kecewa. Lagian, kalau yang diceritain gunung, bebetuannya, proses terjadinya, sejarah meletusnya dll ntar malah kayak buku diktat kuliah yang sulit kumengerti.

Jadi, si Blair bersaudara ini melakukan sebuah petualangan sebagai campuran dari motiv penyaluran passion, keingintahuan, dan niat untuk mendokumentasikan agar bisa dinikmati orang lain. Yang pertama tentu saja, karena dari kecil mereka sekeluarga berpindah-pindah, senang membaca buku hasil penjelajahan, terutama yang paling menginspirasi yaitu karya Alfred Russel Wallace, dan aktifitas Ibu mereka di perkumpulan Subud di Pulau Jawa. Selain juga mereka mempelajari secara akademik di universitas di Eropa dan Amerika. Lawrence Blair mendapatkan gelar doktoralnya di Universitas Lancester, fakultas perbandingan agama, Inggris. Tesisnya  membicarakan mengenai bidang psikoantropolgy yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul: Rhythm of Vision_the Changing Patterns of Believe. Kemudian ditambah kenekatan adiknya. Mereka mencari sponsor yang mau membiayai ekspedisi untuk memfilmkan perjalanan mereka. Menemukan Cendrawasih Kuning Besar melalui jalur dan cara yang sama yang telah dilakukan oleh Alfred Russel Wallace. Yang kemudian berlanjut atau melebar dengan juga memfilmkan kehidupan suku-suku di pedalaman Sulawesi dan Kalimantan, ritual-ritual mistik, flora dan fauna yang mencengangkan bahkan kehidupan di dasar laut. Semua ini diceritakan di bab pertama dan kedua.

Bab berikutnya merangkum upaya mereka memulai perjalanan untuk bertemu cendrawasih kuning besar itu. Yang karena mereka bertekad melakukan perjalanan seperti Wallace, maka ceritanya jadi panjaaaaang. Tidak semudah yang mungkin kita bayangkan jika ada orang kulit putih mau berwisata. Alih-alih menyewa kapal bermesin, mereka sangat niat untuk susah-susah mencari kapal pinisi, yang masih murni bergerak menggunakan tenaga angin. Saking rumitnya sampai makan waktu sekitar 4 bulan! Dan ini diceritakan secara detail dan lebarrr_namun menyenangkan_oleh Lawrence menjadi 3 bab. Mirip sepertiku, yang bahkan untuk menulis ulasan ini saja merasa perlu untuk bercerita hal-hal remeh temeh seperti diatas, di paragraf2 awal. Hahaa.. Karena memang justru perjalanan serta kerumitannya yang berarti dari sebuah perjalanan. Bukan tujuannya. Ya nggak?

Mula2 penulis bercerita upaya mereka untuk memfilmkan upacara pemakaman raja di Tana Toraja. Yang bahkan sudah mati sekitar setahun yang lalu. Ini berdasarkan saran Dr. Werner Meyer, seorang perwira medis untuk Wehrmacht Jerman yang sampai ke Celebes dalam program medis PBB untuk negara2 dunia ketiga bersama 16 dokter dan beberapa perawat lain. Sempat disekap oleh pasukan Daarul Islam dan menjadi salah satu dari 2 orang saja yang berhasil lolos. Yang satunya langsung pulang ke negaranya. Sedangkan Dr. Werner menjadi pengelola kesehatan di wilayan itu bahkan mendirikan Rumah Sakit. Dia ini yang menghubungkan Blair bersaudara dengan orang2 yang akan menghubungkan mereka dengan orang lain lagi hingga pada akhirnya bisa menemukan kapal pinisi seperti yang diharapkan.

Proses merekam film upacara pemakan terakhir Raja Tana Toraja ini saja memakan waktu sampai 2 bulan. Penulis menggambarkan dengan detail semua prosesnya dan apa yang mereka alami selama waktu itu. Deskripsi alamnya, sosialnya, kesenian dan budayanya. Bagaimana mereka berinteraksi dengan penduduk setempat. Juga tentang ajaran dan kepercayaan yang mereka yakini. Soal social, budaya dan kepercayaan ini menjadi titik tekan yang paling banyak diceritakan oleh penulis. Bahkan di bab-bab selanjutnya ketika ia bercerita tentang suku lain. Proses pemakaman Raja ini sangat rumit. Orang toraja mempercayai bahwa asal mula mereka adalah dari bintang, yang mendarat ke bumi oleh benda langit semacam ufo. Saat mereka meninggal, mereka harus melakukan upacara untuk mengirim arwah mereka kembali ke tempat asalnya. Dalam upacara ini mereka mendirikan rumah2 sampai 60an khusus untuk melakukan upacara yang disebut Rante. Rante ini nantinya dibakar setelah selesai upacara. Untuk menentukan waktu pemakaman diperlukan upacara khusus lagi. Pemakamannya sendiri adalah dengan meletakkan jenasah pada sarkofagus, kemudian rentetan upacara pengurbanan dilakukan, tari2an dan orang2 berarak2 dalam kondisi trance, hingga kemudian meletakkan sarkofagus beserta Tau-tau (replica orang yang meninggal dari kayu, seperti boneka) di dalam tebing batu yang sudah di lubangi berbentuk persegi.

Setelah selesai di misi itu, mereka akhirnya menemukan sebuah desa dimana ada penduduk yang mempunyai kapal pinisi, mau menyewakannya beserta awaknya ke pulau Aru. Dimana jalur itu merupakan jalur yang telah lama tak lagi diarungi oleh pelaut Bugis yang tangguh. Sambil menunggu kapal siap diperbaiki, mereka jalan2 mengikuti perburuan ular Boa. Saat waktu dimana angin muson barat sebentar lagi berbalik arah akhirnya mereka berangkat. Dari Bira, menuju Makassar untuk menaikkan barang dagangan titipan saudagar Tionghoa_yang dijadikan syarat pinisi boleh berlayar oleh pemiliknya, kembali ke Bira, lanjut ke Teluk Bone, mendarat di Buton, kemuadian Ambon, masuk ke laut Banda, mampir ke beberapa pulau di Kepulauan Banda yang di salah satunya ada gunung berapinya dan tentu saja ke kota Banda, lanjut ke kepulauan Kei, dan akhirnya sampai ke Aru. Kemudian berhasil memfoto dan memfilmkan Cendrawasih Kuning Besar yang bertengger di Pohon Tarian. Di sepanjang perjalanan mereka, penulis juga menceritakan hewan2 cantik, ajaib, langka nyaris endemic yang hanya bisa dilihat di sedikit wilayah di dunia. Selain ular Boa, ada ikan Laweri yang matanya memancarkan sinar seperti bohlam lampu, ubur2 cincin biru yang sangat beracun, paus dll. Akhirnya, lebih karena tanggal kadaluarsa visa mereka buru2 pulang naik kapal nelayan Australia. Kapal mesin. Menuju Australia tentunya. Hee…

Di bab2 berikutnya, adalah kisah petualangan lain di kunjungan kembali mereka ke Indonesia. Di daratan yang sekarang kita kenal sebagai Irian Jaya. Pada awalnya Lorne Blair pergi dengan tim lain untuk menjelajah dan memfilmkan kehidupan suku Asmat, tanpa Lawrence. Maka di bab ini Lawrence mengutipkan cerita dari catatan harian Lorne. Namun setahun kemudian Blair bersaudara kesana lagi dalam misi lain, yaitu memberikan kuliah pada ekspedisi kapal Linblad Explorer. Suku Asmat, suku pengayau_aku baru tau istilah ini_ dan kanibal. Dan fakta yang sangat mencengangkan adalah mengetahui salah satu korban kanibalisme mereka adalah Micheal Rockefeller. Anak Gubernur New York pada saat itu, Nelson Rockefeller (juga pernah jadi Wakil Presiden Amerika). Ceritanya dramatis banget.. Sampai pada saat Lorne melakukan misi pertamanya, kematian MR masih misterius. Tentang ia yang dimakan oleh suku Asmat juga masih dugaan. Disamping dugaan lain bahwa dia mati tenggelam dan dimakan ikan Hiu. Lorne Blair berhasil mengungkapkan fakta ini karena totalitas mereka dalam melakukan misi peliputan. Mereka benar2 melebur dengan masyarakat, ikut telanjang, ikut upacara2 adat, memakan apa yang mereka makan, tidur di tempat mereka tidur bahkan sampai diangkat sebagai anak oleh salah satu anggota masyarakat. Dengan prosesi yang menggelikan. Hua hua… Blair bersaudara beserta tim lain melakukan wawancara pada banyak orang tentang kejadian tersebut. Termasuk pada akhirnya dengan salah satu pelaku pembunuhan dan yang ikut memakan daging si MR. hiii…

Maka film mereka juga berisi dokumentasi kehidupan pengayau mereka. Tentang prosesi balas dendam. Jika ada yang mati terbunuh akan dibuatkan bis, patung ukir2an kayu bermotif rumit manusia dan hewan yang menjulang sebagai tempat arwah. Arwah itu masih akan terbelenggu dan tidak akan bebas jika belum diurapi darah dari suku yang membunuhnya. Ceritanya dulu orang kulit putih yang diwakili prajurit Belanda pernah menyerang mereka dalam upaya menghilangkan kebiasaan mereka mengayau. Empat prajurit perang suku Asmat Otjanep tertembak. Kemudian si MR datang ke situ untuk membeli bis2 kayu eksotik. Benda etnografi yang dianggap berharga bagi peniliti antropologi. Tanpa tau kalau beberapa bis itu ada yang harus diurapi dengan darah suku kulit putih, supaya arwahnya bebas. Lhaa kok yaaa.. pas MR mau kesana naik perahu menyusuri sungai itu perahunya macet. Perahu mereka berisi 4 orang. Selain MR ada 1 antropolog muda dan 2 missionaris. 2 missionari memutuskan untuk berenang menepi dan mencari bantuan. Selanjutnya saat bantuan tak kunjung datang MR memutuskan untuk menyusul. Dan dia hilang. Dalam beberapa jam kemudian, berdatangan kapal2 milik angkatan laut Belanda, 20 pesawat Neptune, pesawat Hercules milik angkatan darat Australia dan jet sewaan yang ditumpangi Ayah MR dan kembaran MR, Mary. Sampai 10 hari pencarian hasilnya nihil.

Sampai selanjutnya apa yang berhasil dikorek oleh Lorne. Jadi beberapa orang Asmat Otcanep menyeret MR dalam keadaan lemah. Mereka sempat berseteru apakah dia harus dibunuh atau tidak, hingga kemudian salah satu dari mereka menombaknya. Kejadian selanjutnya MR disantap. Ieuw… diantara wawancara2 itu saat, Lawrence ikut berkunjung ia tergoda untuk bertanya, “bagaimana rasanya?”_makan daging orang. Entah dengan bercanda atau bagaimana, salah seorang menjawab: “Daging sesame kami terlalu a lot, daging orang melayu terlalu manis, daging orang kulit putih terlalu asin, yang paling lezat tentu saja daging orang Tionghoa”. Haaaa…. (&*^^$%#$@!)_()*(_&(*%^$%# aku merinding bacanya.

Terusssssss.. pulau selanjutnya yang mereka kunjungi adalah Pulau Komodo. Pulau Naga kata mereka. Jadi Komodo itu dianggap yang mengilhami hewan mitologi Naga. Ohyaaa… Cendrawasih kuning besar itu juga hewan yang juga sejak lama dijadikan symbol bagi masyarakat tradisional China. Heuheu.. Blair bersaudara ke pulau Komodo pertama kali juga dalam tugas mereka memberi kuliah diatas kapal Linblad Explorer. Seperti halnya di bab2 lain, Lawrence selalu menceritakan seekor spesies, selain tentang ciri2 fisiknya juga deskripsi bagaiamana spesies tersebut pertama kali ditemukan oleh orang yang kemudian mengabarkan ke dunia internasional, dinamai, dan selanjutnya dimasukkan ke daftar taksonomi. Dibuku ini Lawrence juga bercerita bagaiamana Komodo akhirnya dikenal dunia. Sebelumnya sudah ada laporan2 penerbang dan penyelam yang mengetahui reptil ini, sampai akhirnya seorang perwira Belanda, Van Steyn terilhami untuk mencari tau. Pada tahun 1912 ia menembak sepasang specimen, membawanya ke Museum Zoologi Bogor dan diteliti oleh kuratornya Van Ouwens. Disinilah pertama kali Komodo diidentifikasi dan diberi nama latin: Varanus komodoensis atau Naga Komodo. Di pulau komodo ini berdiri beridi salib yang menandai tempat seorang Barat pertama yang dimakan oleh Reptil ganas ini.

IN MEMORY OF
Baron Rudolf Von Reding Biberegg
Born in Switzerland the 8 August 1895 and
Disappeared on this island the 18 July 1974
‘He loved Nature throughout his life’

Pulau selanjutnya di bab selanjutnya adalah pulau Sumba. Kali ini misinya juga buat film. Tentang perang pasola. Sebuah olahraga perang tahunan. Yang harus menumpahkan darah. Beberapa kali Lorne kesana untuk melakukan misi tersebut namun gagal karena waktu penyelenggaraan yang tidak pasti. Tidak ada yang tau kapan pasola berlangsung selain pendeta mereka. Sampai pada akhirnya Lorne berhasil mengetahui tanggal pasti pelaksanaan pasola 3 tahun kemudian, Lawrence menyusul kesana. Dan saat mereka bertemu adalah saat salah satu kru filmnya: Zac mendapat kabar kalau Raja Pau wafat. Lalu mereka pergi ke Waingapu untuk menghadiri pemakaman. Meski pemakaman masih ditunda karena syarat hewan kurban yang belum terpenuhi. Bahkan ada 2 jenazah lain yang sudah menunggu lebih dari 20 tahun untuk dikuburkan. Disebabkan hewan kurban yang telah lama disiapkan terus2 dicuri tiap kali sudah hampir memenuhi syarat. Pemakaman disana yaitu dengan menguburkan orang bersama kudanya dibawah batu megalit seberat 3,5 ton. Jenazah dibuntel dengan berlembar2 kain tenun ikat khas sumba yang tak ternilai harganya. Tenun ikat merupakan azimat bagi orang sumba, banyak symbol dalam tenun ikat yang merupakan bentuk kekuatan magis rahasia yang hanya dipahami oleh para tetua klan. Bersama Raja Pau, raja Sumba saat itu harus dikuburkan ratusan lembar tenun ikat paling indah yang pernah dilihat. Yang akhirnya sempat di filmkan oleh Lorne dan Zac meter demi meter. Mengetahuinya mau dikuburkan adalah hal yang ironis.

Akhirnya mereka menyaksikan juga olahraga tahunan pasola. Yang sebenarnya adalah upacara pengorbanan manusia terselubung. Menurut ajaran mereka, ini untuk menjaga agar dunia tetap seimbang antara dewa2 langit merapu di atas dan nyale sang dewi lautan di dunia bawah. Mereka berhasil memfilmkannya.
Dan akhirnya mereka ke Borneo. Kalimantan. Mencari suku nomad Punan. Untuk di filmkan juga tentunya. Suku ini dikabarkan sudah tidak ada, atau sudah menyesuaikan diri dengan pola hidup masyarakat lain saat ini. Tapi mereka bersikeras mencari. Dan untuk itu mereka menelusuri berdasarkan info2 lapangan dan catatan2 penjelajah sebelumnya. Dalam penelusuran ini mereka dibantu oleh Wiessmar, sultan asal Sumatra Barat yang ahli menduplikasi dokumen, punya banyak variasi pekerjaan diantaranya pengumpul informasi bagi intelejen Angkatan Darat. Sebelumnya mereka sudah bertemu di kapal Linblad Explorer saat ke pulau Komodo. Dia juga yang bersama sama Baron mengunjungi pulau Komodo untuk peratama2 kali dimana Baron menjadi korban keganasan Komodo.

Blair bersaudara, Wiessmar akhirnya menemukan orang yang mau mengantar mereka mencari suku Punan. Bareyo namanya. Dia orang Punan juga namun sudah sedikit menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat lain saat itu. Berprofesi sebagai pemburu badak dan melakukan perdagangan. Mempunyai anak dan istri yang tinggal menetap. Dalam perjalanan beribu-ribu kilometer, rombongan ini terdiri dari 22 orang. Melewati hutan hujan tropis yang rapat meski sudah banyak ditemui penebangan liar pohon2 besar untuk dikirim ke luar pulau. Disini, selain lintah yang mereka temui dan dideskripsikan oleh Lawrence adalah spesies lain seperti kupu2 Raja Brook Bridwing yang pertama kali ditangkap dan diidentifikasi oleh Alfred Russel Walace. Yang cantiiiiiiiiiik bingitttttttttt katanya. Heuheu.. *coba gugling ah… ohh okey,, emang kalo bagi penduduk asli mungkin biasa aja :D

Akhirnya ketemulah mereka dengan suku Punan ini. Ketika mereka melintasi sungai dan mulai mendengar suara seperti tabuhan genderang yang menyeramkan seperti keluar dari air. Music air Punan yang terkenal. Diceritakan, saking rapatnya hutan ini, mereka nyaris tidak pernah melihat angkasa. Selain mungkin ketika mereka melintasi sungai2 besar. Oleh karena itu bagaiamana pada akhirnya Bareyo dan orang2 punan bisa mengetahui arah dan menemukan kerabat mereka adalah misteri. Namun kemudian Lawrence mendapat penjelasan mengenai “pengelana mimpi” dari Bareyo. Orang punan tahu kalau mereka memiliki 2 jiwa. Ada jiwa fisik emosional dan para pengelana mimpi. Dalam keadaan tidur atau kerasukan para pengelana mimpi berkeliaran melihat dengan mata berbeda. Melihat jalur2 hewan liar atau orang yang hilang. Memang pada saat akhirnya mereka menemukan suku Punan nomad yang mereka cari ini, bareyo sudah melihat mereka dengan “penglihatannya”. Dan ini dia katakana kepada rombongan lain. Ia meminta beberapa orang untuk menyebrang sungai dan melihat apakah “penglihatannya” itu sungguhan. Dan ternyata memang benar.

Saat sudah tinggal bersama orang2 Punan, penulis mendapat keterangan lebih lanjut. Tentang Aping_Tuhan yang mereka yakini, tentang pohon kehidupan, bahwa manusia itu semuanya berasal dari pohon yang sama. Disini Blair bersaudara mengikuti upacara dipimpin oleh Nanyet_semacam pemimpin spiritual. Mereka melingkar mengelilingi Nanyet. Nanyet bergumam dan meracau semacam ocehan bernada yang kemudian diikuti oleh kerumunan laki2 perempuan sekitar 50 orang itu. Menurut mereka, bahasa itu tidak bermakna, kecuali bagi orang2 yang memiliki pengelana mimpi yang terjaga sepenuhnya. Bahasa itu disebut bahasa ‘sebelum terlahir dan setelah berpulang’. Belakangan Blair bersaudara baru mengetahui kalau upacara itu diselenggarakan untuk mereka. Untuk membangunkan pengelana mimpi mereka. Mereka akan mengetahui apakah itu berhasil atau tidak setelah beberapa hari, apakah diantara mereka ada yang bermimpi. Dan hal itu benar2 terbukti. Lorne yang bermimpi, mendapati dirinya ada di dalam sebatang pohon besar yang membentang dari ujung ke ujung Borneo. Satu pohon. Dan dia bersama makhluk2 lain. Sebelumnya karena seringnya mereka ikut menikmati musik2 orang Punan, suatu kali mereka berdua bangun dan ingin membuat tato. Orang Punan adalah seniman tattoo. Dan tattoo adalah juga salah satu symbol spiritual mereka. Mereka akhirnya pulang dijemput helipad operasional missionaries setempat.

Membaca deskripsi ini dan deskripsi Lawrence sebelumnya tentang ciri2 orang Punan, yang berkulit putih nyaris transparan, juga melihat foto hasil jepretan mereka yang memperlihatkan gadis punan aku tiba2 merasa kalau film Avatar yang makhluk2 biru itu_bukang yang Aang_terisnpirasi dari sini. Seriussss.. deskripsinya mirip banget. Orangnya, pengelana mimpi, pohon kehidupan, upacaranya haaa… Sotoy mode on.

Hadeuuuh.. aku udah capek aslinya. Udah ngantug. Tapi ini tinggal satu lagi. Satu bab lagi tentang Bali. Blair bersaudara itu punya rumah di Bali. Rumah dalam arti sesungguhnya. Tempat nyaman untuk pulang. Tempat mereka untuk memperhalus transisi dahsyat yang harus mereka hadapi dari kehidupan sangat modern di Inggris dan Amerika dengan belantara rimba. Kalau di tempat2 terpencil saja mereka segitu akrab dan berbaurnya, apalagi di Bali. Dan mereka sangat diteriman disini. Rumah mereka juga dibuatkan oleh penduduk. Mereka ikut dalam upacara2 dan kegiatan masyarakat di Bali. Mendapatkan ketenangan dan pengalaman spiritual. Udah.

Sebenernya ada cerita orang lain lagi di bab tentang Bali ini. Yaitu orang yang dia panggil Dynamo Jack. Orang yang dari dalam tubuhnya bisa mengalirkan listrik dan membakar sesuatu dengan tangan kosong. Nah, kalau yang ini aku jadi inget si Elektra tokoh fiktifnya Dee di Supernova Petir. Dan sedikit juga inget sama Bodhi di Supernova Akar waktu baca bab Kalimantan. He he.. yaampun..

Baca ini ni yaaaa.. ada perasaan maklum sekaligus miris. Dengan diri sendiri, dengan bangsa ini. Indonesia itu yaaaaaaa.. haaa.. bagaimana aku harus mengatakannya. Ini yang aku bilang diatas aku nggak bisa berkata2. Heuheu. Jadi, aku merasa pantesan aja kalau eksplotasi besar2an di Papua di Kalimantan dan yang lain2 dikuasai sama mereka orang2 kulit putih. Ya karena merekalah yang lebih dulu mengetahui potensi ini. Yang sadar akan nilai sesuatu. Mungkin kita juga tau, tapi tak tau harus apa.

Belum lagi seperti yang disampaikan oleh penulis. Bahwa apa yang ada di Indonesia ini adalah sesuatu yang banyak mengilhami khayalan mereka tentang kehidupan lain. Seperti yang kusebutkan diatas, dari Cendrawasih hewan cantik symbol anggun bagi masyarakat China, Komodo yang diasosiasikan sebagai naga, ada juda ikan duyung yang diinspirasi oleh spesies ikan tertentu di Indonesia, bahkan boogey man. Pernah liat film boogey man? Hantu yang ada di bawah kolong kasur. Dari buku ini aku tau kalau kosakata Boogey man itu berasal dari pelaut Bugis. Bugis man. Perompak Bugis yang ditakuti oleh pelaut2 jaman dulu. Begitu mengerikannya sampai dijadikan nama hantu oleh mereka.

Saat penulis menceritakan kisa2 pelayaran orang2 terdahulu untuk mencari rempah2. Motif orang2 eropa untuk bangkit atau renaissance sampai akhirnya revolusi industry. Tentang mencari sumber daya di suatu wilayah. Sampe nyasar2 ke Amerika. Sementara kita masih tidurr. Haaa… *cakar2 meja.
Kalaupun dulu kita masih tidur, kenyataannya sampai sekarang kita belum bangun2. Belum sadar2. Ihhhh.. kemudian melihat diri sendiri yang kayak gini niiii… kayak gini.. *tonyor2 idung.  Udahlah pengetahuannya dikit, gak produktif, tiap hari masih aja menggalaukan hal2 nggak penting. Remeh temeh dan Haaa… *yakdes yakdess..

Haaa… setidaknya, gara2 baca ini aku jadi baru bener2 melototin peta Indonesia. Melototin pulau2 kecil yang menyimpan banyak kekayaan. Merasa masih sangat bloon bin dodol. Kalau ditanyain sekarang jumlah provinsi di Indonesia aja nggak tau. Asli nggak tau. Ingetnya masih yang sesuai pelajaran SD-SMA. Ada 27. Trus yang pernah kukunjungi mana aja? Atau kalau itu berlebihan setidaknya, di tempat kamu ada sekarang, kamu udah ngapain? Udah ngapain coba? Haaa..

Jadi inget waktu pertama kali aku tercengang dengan hal2 macam ini sewaktu kelas 2 SMA. Waktu buat presentasi di mata pelajaran Geografi tentang potensi hutan Indonesia bagian Barat. Dan temen2ku yang sampe bosen sama presentasiku yang kepanjangan. Karena semuanya aku sebutin satu2. Haaa… trus memantapkan diri mau kuliah pertanian. Mau jadi petani modern entah gimana caranya. Dan sekarang mendapati diri luntang-lantung giniiii… jatuh miskin, gagal move on. Hahaa.. *eh nggak ding. Lebay.

Hhhhhh…

Di samudra ilmu tak terhingga ini
Kita berenang timbul tenggelam
Menggapai-gapai makna seukuran zooplankton
Sesekali tersedak, menelan air asin dari lubang hidung
Atau dari mulut tapi masuk ke saluran nafas

Di samudra ilmu tak terbatas ini
Langit yang terhampar luas diatasnya tanpa tabi
Pun tetap bisa melalaikan kita dari ke-MahaanNya
Teralihkan oleh berisik hati berkabut nafsu
Bisa-bisanya masih risau dengan perkara remeh temeh tentang aku, tentang kamu
Padahal semua ini kan bisa kita eja bersama-sama
Memperdengarkan dan menangkap isi kepala kita masing-masing
Bahkan ketika kau tak sanggup berkata-kata dan aku tak bisa diam

*meracau saat masih membaca bab pertama, diatas kereta, sambil berpikir kemana2.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar