Jumat, 20 Oktober 2017

Mari meneladani Zainudin dan Hayati_TKVDW the film



Hmm hmm..

Belum benar – benar sembuh sih dari penyakit tak bisa berkata – kata. Jadi masih agak takut – takut. Hi hi.. Jadi pelan – pelan ya..

Sekitar akhir tahun 2015 kemarin akhirnya saya menonton film 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck'. Di tipi dong. Karena saat filmnya launching, saya sudah berada di hutan. Tapi sebelumnya saya sudah pernah membaca bukunya. Reviewnyabisa dilihat disini.

Secara singkat, film adaptasi novel ini dibuat sama dengan cerita aslinya. Tentang seorang pemuda_yang dianggap_ tak bernasab. Bapaknya orang Minang yang masyarakatnya matrilinial. Sedangkan ibunya orang Makassar yang masyarakatnya patrilinial. Zainuddin namanya. Ia lahir di Makassar, namun kemudian merantau ke Minang setelah ibunya meninggal. Mengharap untuk mendapat keluarga baru. Namun disana ia tidak terlalu diakui karena ibunya bukanlah orang Minang. Merasa terasing. Namun kemudian ia bertemu Hayati yang baik hatinya. Zainuddin merasa diterima. Hayati pun memiliki simpati dan perasaan belas kasih. Keduanya jatuh cinta. 

Dengan pengantar seperti itu, bisa diduga bahwa kisah tidak akan berakhir bahagia. Latar belakang sosial Zainuddin menjadikan kisah cintanya tidak mulus. Terkendala restu dan adat. Hayati akhirnya menikah dengan pemuda lain yang lebih disetujui keluarganya. Huw huw huw huwwwww.. T_T
*break dulu. Ngusap air mata* 

Akhirnya Zainuddin patah hati_menurutku sih keduanya patah hati_bahkan sampai almost crazy. Tapi Allah masih baik kepadanya. Masih ada orang – orang yang peduli dengannya yang terus memberinya penyadaran. Bahwa ia masih mempunyai sesuatu yang bisa diperjuangkan. Minat dan bakatnya dalam menulis mendapatkan pengakuan dari masyarakat.

Zainuddin merantau lagi. Kali ini ke Jakarta. Berniat menekuni kariernya untuk menjadi penulis. Dan ia berhasil bahkan sukses. Kariernya ini juga yang membawanya pindah lagi ke Surabaya.
Sementara Hayati dan suaminya hidup dalam pernikahan yang kurang bergairah. Sang suami merasa tak bisa mendapatkan cinta istrinya meski tlah menikahinya. Padahal Hayati telah berusaha untuk menjadi istri yang baik. Dia telah berusaha mengubur dalam – dalam perasaannya. Karena urusan pekerjaan, mereka pun pindah juga ke Surabaya. Disanalah mereka bertemu kembali. 

Cerita yang dari awal sudah dramatis, bertambah dramatis. Satu – satu diantara mereka tersiksa dengan perasaannya masing – masing. 

Suami Hayati memanglah berperangai buruk sejak awal. Saat di Surabaya hal itu memburuk. Sampai frustasi dan bunuh diri. Menyerahkan Hayati pada Zainuddin. Sedang Zainuddin yang diserahi tak bisa menerima. Ia sudah memaafkan Hayati, namun masih belum bisa melupakan rasa sakitnya. Jangan tanya cinta, Hayati tak pernah pergi sedikitpun dari hati dan pikirannya. 

Zainuddin mengirim Hayati pulang ke kampung halamannya sepeninggalan suaminya. Ini amat menyakitkan bagi Hayati. Ia sudah ungkapkan segala isi hatinya, tapi Zainuddin tak tergoyahkan. Hayati pulang menaiki kapal Van der Wijck. Kapal itu mengalami musibah dan tenggelam di pantai utara. Di lamongan. 

Hayati masih selamat. Ia dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Zainuddin begitu mengetahui kabar tersebut langsung mencari Hayati. Mereka bertemu, dan mengungkapkan pengakuan hati masing – masing, sayangnya untuk yang terakhir kali. Hayati menemui ajalnya.

Nah,, sekarang komennyaa.. hehe..

Tapi sebelum komentar dari saya, ada komentar – komentar teman yang ingin saya kutip. Jadi, kami memiliki group GJ di BBM. Tujuan, visi misi dan anggotanya tidak jelas. Jadi isi obrolannya juga seringkali tak jelas. Suatu waktu kita membahas tentang film ini. Saya tidak ikut berkomentar karena belum nonton, hakkkk!

Kebanyakan dari mereka, tepatnyaa.. dua orang, yaitu sebut saja dia MM dan BB tak habis pikir dengan tokoh dalam film itu. Yitu Zainuddin dan Hayati. “Gara – gara patah hati kok sampe segitunya” kurang lebih seperti itu komentar mereka.

“Kok sampe segitunya..”? Maksudnya? Haaaa.. aku jadi membayangkan filmnya memang dibuat sedramatis apasih? Maksudnya memang patah hatinya sampai seperti apa? Kan kalau di buku, setelah Hayati menikah Zainudin melamun, menangis, dan kehilangan semangat hidup. Tapi kan nggak sampai bunuh diri?! haa..

Dan pada akhirnya, tak lama, saat saya akhirnya menonton film ini, saya jadi 'ngomel – ngomel' dan ingin memprotes si MM dan BB. Pokoknya protess! Ingin memprotes di group dan mengatakan pada seluruh dunia tentang pendapatkuuuu uuuuu...

Itu tu.. seharusnya jangan dilihat dari sisi itunya. Jangan dilihat dari saat Zainuddin patah hatinya! Atau saat Hayati juga menangis – nangis di depan Zainuddin. Jangan! Ya.. gimana sih, kalau orang sedang patah hatinya? Ya seperti itu kan? Seperti ada yang tiba - tiba terlepas. Hilang tak tau kemana. Kayak kroak tinggal separo. Oke lah kalau MM dan BB atau teman – teman belum pernah merasakannya. I hope not. Jangan sampai. Tapi percayalah itu sakitnya beneran. Maksudnya, saking sakitnya, sampai kalau di kisah – kisah lain itu banyak yang endingnya lebih tragis. Bunuh diri misalnya. Atau gila. Nah lihatlah sisi yang bagian ini. Tentang bagaimana perjuangan orang yang patah hati untuk terus survive dalam hidup yang dianugrahkan kepadanya. Yang itu memerlukan sebuah kekuatan dan keberanian luar biasa. Dan tidak mudah. 

Harusnya justru tokoh – tokoh dalam kisah ini patut diapresiasi. In case kisah yang bertema patah hati, ini termasuk yang heroik. Bagaimana tokoh – tokoh dalam cerita ini berusaha matian – matian supaya tak mati sia – sia. Bagaimana untuk tetap hidup meski jiwa tak utuh lagi. Bagaimana bahkan untuk tetap berkarya dan berdaya di tengah – tengah masyarakat. Bagaimana mereka pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan dan menguat ketimbang melemah dan kalah untuk kemudian mati sia – sia. *Ish.. kok ga diliat sisi ini nya sih..*

Zainuddin bahkan bisa menghasilkan karya dari kisah hidupnya yang pahit itu. Terus berusaha menerima dan berdamai dengan apa yang telah ia alami. Membagi kisahnya meski tak lugas. Ia bahkan tak ingin orang lain bernasib sama sepertinya. Ia bantu pemuda yang ingin menikah namun kesulitan biaya.
Juga Hayati. It is not easy for her at all. Ya.. kan perempuan memang cenderung mengikuti aturan dan norma – norma yang berlaku pada masyarakat apalagi keluarga. Betapapun itu bertentangan dengan hatinya. Memang dia yang memutuskan, tapi tak berarti ia tak patah hati. Ia bahkan harus berusaha mencintai orang lain. Ditambah kenyataan bahwa dia sendirilah yang telah menyakiti orang yang dia cintai. Padahal bagi orang yang mencinta, melihat yang dicintai sakit ia ikut sakit. Jadi sakitnya Hayati dobel – dobel. Actually sampai disini saya mulai sotoy dan berlebihan. Heuheu.

Artinya, kita manusia tak pernah tau dan tak pernah bisa memilih akan takdir yang telah dan akan menimpa kita. Yang pada akhirnya penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana kita menghadapinya. Apakah kita akan bertahan dan terus berjuang, atau menyerah dan melemah. Dan tentu saja sikap untuk tetap bertahan dan berjuang adalah sikap yang patut kita hargai.

Bahkan, Tere Liye sampai membuat novel yang ingin menyampaikan pesan bahwa, meskipun kau telah patah hati, kau masih bisa melanjutkan hidup. Karna "pecinta sejati tidak akan mati, sampai maut datang menjemputnya". Sang Penandai – Tere Liye.

Jadi mari kita hargai orang – orang yang keep trying to survive dengan hatinya yang tinggal separo. Untuk kemudian semoga saja menemukan Sepotong Hati yang Baru. Dan do’akanlah ia. Do’akan aku juga :D.

Gambar diambil dari sini
*Ditulis sudah sejak tahun yang lalu. Tapi baru bisa merapikan kembali untuk diterbitkan.

Share:

4 komentar: