Jumat, 20 April 2012

Karena Cinta Harus Diupayakan


Karena cinta harus diupayakan
Judul buku yang kubicarakan ini adalah buku yang sederhana, bertutur tentang opini penulis mengenai hal-hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Hubungan antar manusia. Orang tua pada anak, suami pada istri, atasan dengan bawahan, pemerintah dengan rakyatnya, guru dengan muridnya. Kalau saya gak salah ingat, demikianlah. Karena sudah lama sejak say abaca buku ini, kurang lebih berselang 3 tahun.
Namun pada intinya saya menangkap kesimpulan: “yah, memang cinta harus diupayakan”. Mungkin mudah bagi kita suatu hari berkata atau merasa “aku mencintai….”. Tapi bagaimana agar cinta itu tumbuh subur_tentu saja dengan hakekat cinta yang menyertainya_memerlukan sebuah upaya. Jadi soal mendapatkan sesuatu itu mudah, tapi mempertahankannyalah yang sulit dan butuh upaya lebih dari sekedar pada saat mendapatkan.
Pernah suatu hari aku merenung dan berpikir, di saat orang-orang di sekelilingku_dan mungkin termasuk juga aku_sedang semangat-semangatnya untuk menjemput fase yang disebut pernikahan. Dan pembicaraan tentang hal itu jadi topic yang selalu hangat dan tak pernah habis dibahas.  Aku seperti dipertontonkan kehidupan rumah tangga pasangan-pasangan yang sudah menikah lebih dari 5 tahun dan mempunyai anak dan seterusnya. Tentang kodrat seorang istri tentunya. Oooh betapa, di masa ini wanita benar-benar diuji cintanya.
Jadi yang kulihat adalah beberapa model rumah tangga, mulai yang begitu harmonis, biasa aja sampe yang agak-agak mendapat banyak cobaan. Seorang istri dengan 3 anak perempuan. Suaminya adalah bos besar yang wilayah kerjanya Indonesia, antar provinsi. Anak-anaknya terlihat begitu bangga terhadap ayahnya. Sedangkan suaminya adalah sosok meyakinkan yang berkarakter kuat. Disuatu acara, dimana semua anggota keluarga ini ada, sang istri tampak begitu sabar “mengendalikan” ketiga anaknya, sementara sang suami menjadi pembicara dan orang penting dalam acara itu. Menatap suaminya berbicara, aku seperti menangkap suatu bisikan jiwa seorang istri. Istri yang mengetahui seluk beluk suaminya luar dan dalam, yang sepertinya karena dia tahu segalanya, dia agak “meremehkan” apa yang sekarang sedang dikatakan suaminya di depan bawahannya. “Haaah, suamiku-suamiku, apa yang kau katakana itu sedikit berlebihan” begitulah kurang lebih yang kutangkap dari matanya.
Dan mengingat hal ini, aku jadi teringat suatu hadist “istrimu adalah baju bagi suami, dan suami adalah baju bagi istri”. Baju, fungsinya adalah untuk menutupi tubuh . Menutupi agar kehormatannya tetap terjaga. Haaa subhanallah, betapa islam mengatur semuanya dengan indah. Dan tak ingin berat sebelah, kurasa, walaupun tak tersirat, sang suami tentu juga tau kekurangan yang ada pada istrinya, dan cintanya juga dibutuhkan untuk dapat menerimanya.
Refleksi pada diriku, aku berfikir bagaimana, jika nanti aku mendapati suamiku misalnya begitu arogan, menjadi cibiran orang banyak karena sikap sombongnya, jika dia ternyata, tidak disukai oleh teman sekantornya, jika dia punya aib yang begitu besar dan bayangan-bayangan akan sifat yang biasanya bisa membuatku jengah. Membayangkannya ada pada suamiku kelak, membuatku merasa harus punya hati yang lebih lapang.
Aku juga punya kekurangan tentu saja, dan pasti banyak. Dan tentu saja, suamiku kelak juga harus berupaya untuk mencintaiku dengan kekuranganku itu. Tapi kembali aku menangkap suatu perbedaan disini. Bagaimanapun suami punya kekuatan lebih dan wewenang untuk mengatur istrinya. Dan kami, para istri kewajibannya adalah menaati suami. Bahkan taatnya seorang wanita pada suaminya, mengalahkan ketaatannya pada orangtuanya. Lalu bagaimana jika kita berada pada posisi menaati ketentuan-ketentuan suami yang salah, yang secara sadar kita tak dapat menerimanya. Maka disini, wanita lebih banyak mengupayakan cintanya.
Seperti yang kulihat pada pasangan yang satunya. Pasangan yang sangat harmonis di awal pernikahannya. Kisah cinta mereka kuketahui begitu romantis, kisah cinta kilat khusus. Hingga pada kurang dari 5 tahun usia pernikahannya, setelah anak yang mereka nanti-nantikan lahir, badai yang datang begitu dahsyat. Badai berupa fitnah terbesar di dunia… : wanita. Entah bagaimana sang suami terkena fitnah itu. Dan menghadapi semua itu, apa yang kau bayangkan dan harapkan terjadi pada istrinya? Lebih dari kesabaran seluas samudra yang kudapati ada padanya. Ia, sang istri yang mungkin sudah begitu menyadari hakekat kehidupan ini, sadar betul bahwa suaminya bukanlah semata-mata miliknya. Memang tidak sampai berakhir pada poligami, namun kehidupan mereka sungguh tidak mudah setelah itu. Mereka yang tadinya berkarya bersama, harus berpisah karena skandal itu membuat suaminya harus pergi. Sedangkan sang istri, karena amanah dan tanggungjawab yang ia rasa lebih penting memilih untuk tinggal. Sesungguhnya, aku tak telalu tau kisahnya, tapi dengan melihat, berbicara dan mengamati sang istri itu, terasa bahwa ini semua tidak mudah. Wanita mana yang bisa dengan mudahnya memaafkan suaminya atas kejadian itu. Kemudian harus tetap mencintainya, menaatinya. Harus berpisah dari orang-orang yang dicintai. Ini semua butuh energy cinta yang begitu besar. Sangaaaaaaaaaaaaaat besar kurasa. Dan apa yang sang istri perbuat tentang amanahnya itu pun juga luar biasa. Ditengah kerumitan kehidupan pribadinya , ia tetap bisa menghasilkan karya, yang bernilai jariyah. Tidak habis meski dia tlah meninggal sekalipun. insyaAllah.
Dan mungkin ada lebih banyak kisah di luar sana. Dan setidaknya akupun belajar dari kedua orang tuaku. Ibuku yang mencontohkanku betapa pengabdian pada suami itu memang harus, apapun kondisinya. Ia yang menjadi tulang punggung keluarga, pasca sakitnya bapakku membuktikan bahwa begitulah suami-istri seharusnya, melengkapi. Meski begitu, kita juga harus pintar-pintar mengambil celah dari ketaatan itu, untuk kebaikan seluruh keluarga. Bagaimana menyisihkan uang begitu penting, ikut arisan agar bisa menyicil barang untuk usaha, mengatur menu makanan agar bisa pas dengan anggaran, merencanakan biaya studi anaknya, mengatur bagaimana nanti jika anaknya menikah. Dan diatas semua itu ia tidak tampak superior terhadap sang suami, tetap dalam kepatuhannya.
Sedang bapak, bagaimana atas sakitnya itu ia tetap mempunyai wibawa yang sama (ooooh lagi-lagi ini peran istri yang sangat menentukan). Ia bertugas memberi pengertian kepada anak-anaknya, bahwa kita harus bekerjasama. Siapa yang bisa menanggung suatu perkara maka tanggunglah, tak peduli dia anak lelaki atau perempuan, anak pertama, kedua, atau ketiga dst. Dan kesusahan satu anggota keluarga adalah kesusahan bersama. Mencarikan suami atau istri yang baik untuk anak-anaknya dengan usaha maksimal. Tentu saja yang aku tidak tau, entah bagaimana mekanisme saling dukung yang ada pada mereka.
Haaaah, karena cinta harus diupayakan, jadi menikah itu baru tahap awal. Baru tahap ikrar untuk mendapatkan cinta, sedang untuk mempertahankannya? Dibutuhkan upaya yang lebih besar.
Maka menuliskan semua ini seperti sedang memberikan pengeritan pada diriku sendiri. Segala kepusingan kaum labil sepertiku ini memang harus disikapi dengan bijak. Artinya, cara dan keputusanku untuk mendapatkan pasangan hidup juga hal yang penting, yang menentukan bagaimana kisahku selanjutnya. Jadi tidak usahlah mempersulit diri dengan perasaan yang menghanyutkan akan seseorang. Toh kita harus melihatnya dengan kacamata masa depan. Bagaimana aku akan mencintainya kelak.
Tidak hanya ingin membicarakan cinta yang demikian. Cinta pada teman, pada orang tua pada semua yang ada di sekeliling kita juga perlu diupayakan. Bagaimana mengambil hati teman, anak, partner kerja, atasan, bawahan, adik, kakak begitu perlu diupayakan. Bagaiamana menghormati guru dan orang-orang yang berjasa adalah mengupayakan cinta.
Akhirnya, cinta bukanlah perasaan yang datang begitu saja tanpa upaya. Pasrah sampai dengan bisa menerima sesuatu untuk dicintai itu salah. Semuanya harus diupayakan. Karena cinta harus diupayakan.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar