Minggu, 19 Mei 2013

Baca buku jalan-jalan


Ha ha.. hari minggu itu time for hot chocolate and the books. And well, I’ve finished one book again. Masih buku soal jalan-jalan. Nggak terkenal sih bukunya (eh, apa terkenal ya? Karena versiku, buku terkenal itu kayak laskar pelangi, supernova de el el), tapi asik. Awalnya aku agak terganggu sama editing (baik tulisan maupun konten) yang kurang halus menurutku. Tapi okelah, tetep asyik kok

Gambar ini asli, jepret sendiri :)
Buku yang pertama, judulnya The Journey – nya Gola Gong. Ni buku nemu sehabis melakukan JOURNEY selama -/+ 4 jam di atas sepeda ontel mengelilingi Surabaya. Maksud hati nyari Stasiun Gubeng, nemunya Stasiun Pasar Turi pake bonus nyasar. Nah, disebelah Sta. Pasar Turi itu ada toko buku bekas. Dan ketemu deh sama buku ini. Dibeli seharga 15.000 atau 5.000 gitu, lupa! Terus perjalanan pulang udah malem, hujan rintik2, sendirian. Aku pengen nangis karena kecapekan.. (ha ha.. cururocol).

Trus.. trus.. buku kedua judulnya The Journal karya Neneng Setiasih. Ni buku juga didapet dari JOURNEY – nya temenku Jogja – Bojonegoro mampir Surabaya naik kereta api. “Mbaaaaak kamu harus baca buku ini!!” katanya, waktu ketemu. Oya, perjalanan nyasar-nyasarku yang sebelumnya itu dalam rangka nyariin temenku itu tiket balik Surabaya-Jogja dari Bojonegoro.

Yah, 2 buku ini ceritanya tentang jalan-jalan modal dengkul alias Backpacking. Sangat sangat persuasive dan provokatif buat yang punya jiwa bebas dan petualang walau sedikit saja kayak aku. Di dua buku ini, penulisnya adalah pelaku backpacking itu sendiri. Sebenernya ada satu buku lagi yang isinya juga jalan-jalan backpacking tapi fiktif karangan Dee : Supernova : Akar. Tokoh fiktifnya namanya Bodhi.

Sumber Gambar
Nah, si Bodhi sama Gola Gong ini sama-sama menjelajahi Asia Tenggara (kalau Gola Gong bahkan sampai Asia Selatan dan Tengah). Saking samanya jalur track mereka dan emang aku bacanya hampir bareng, aku sampai berpikir kalau Bodhi itu Gola Gong. Hue hue.. bahkan saat aku berusaha mengingat cerita 2 buku itu, memoriku ketuker-tuker. And, ternyata emang endorsement di buku The Journey – nya Gola Gong tu yang nulis Dee. Nggak nyambung kan? Heeee..  Kalau buku The Journal, tokohnya pada akhirnya ke Asia Tenggara sih, tapi nggak diceritakan.

Yeah, kesimpulan dari buku-buku ini adalah bahwa Backpacking itu asik, nggak susah-susah amat dan nggak butuh banyak duit. Bagi yang ngekos sebulan duaratus rebu bisa dikonversi kos-kosannya jadi bus ato kereta api buat ganti tempat tidur (he he.. yang ini versiku).

Nih ya, berdasarkan 3 buku ini bisa disimpulkan juga bahwa jalur backpackers tu rata-rata sama. Untuk keliling Asia Tenggara biasa dimulai dari Indonesia. Berujung di Medan, trus nyebrang ke Malaysia lewat selat Malaka. Nah yang orang Indonesia ya langsung ke Medan aja. Dari Malaysia terus naik ke atas lewat Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Srilangka, Bangladesh, India, Himalaya.

Hu hu ngiler ya? Kalau Gola Gong ongkos perjalanan ia cari sambil jalan. Dia tulis kisah Backpackernya dikirim ke majalah dan dapet honor. Kalau si Neneng Setiasih ini pakai uang tabungan project2 penelitian gitu. Belakangan dia juga nulis kisahnya dan diterbitkan di majalah. Kalau Bodhi, aku lupa! Buku ini cucok bagi day dreamer buat ngegedein mimpinya, ngebuletin tekadnya, trus action!

Yang terpenting, yang ada dalam ketiga buku ini, pelaku backpacking ini sama-sama menemukan pengalaman spiritual selama perjalanan mereka. Bertemu banyak orang yang lebih beragam. Melihat kenyataan hidup dari berbagai sudut pandang dan akhirnya ketika keindahan alam terekspos di mata mereka, mereka akui kebesaran sanga pencipta. Eh, kalau si Bodhi ceritanya agak beda ding. Dia sih keliling-keliling untuk menjauhkan kutukan pada dirinya dari orang-orang di sekelilingnya

Jadi inget kapan hari nonton acara 2 tamu di Metro TV yang ada Sudjiwo Tedjo – nya. Katanya: Jalan-jalan ke Gunung, Pantai dll bahkan memasak itu akan memberikan kita pengalaman spiritual sehingga kita tidak akan lari ke orang-orang yang kita anggap memiliki kemampuan spiritual. Ha.. ha .. I like that.
Well, I’m totally agree dengan simpulak-simpulan di atas. I were. Meski perjalananku nggak ada apa-apanya dibanding 2 buku nyata dan 1 buku fiktif itu. Tapi aku cukup merasakan magisnya sebuah perjalanan. Dengan catatan, perjalanan harus penuh ketidakpastian kayak Bancpacking. Mengenali kerumunan manusia, merasakan waktu bergulir, jarak yang tertempuh dan kayaknya duitnya memang harus pas-pasan supaya sensasinya ada. Dan dalam perjalanan pula, aku selalu merasa mengerdil. Layaknya butiran debu di padang pasir. Noor Hidayati di Himpunan Semesta, for what?



Share:

0 komentar:

Posting Komentar