Senin, 30 Desember 2013

Memotret dengan Canon Power Shoot A810

Jaman sekarang DSLR itu bukan sesuatu yang terlalu istimewa. Maksudnya, sudah jadi barang konsumsi umum. Kalau dulu, kalau bukan fotographer professional kayaknya jarang yang punya. Sekarang asal punya kocek cukup, gampang aja mau punya. Masalah cara pakenya bisa belajar. 

Suatu kali waktu sharing2 dengan teman kantor soal mimpi2, salah satu mimpiku tu kan punya kamera. “Kamera pocket aja” kataku. Terus aku diketawain. Katanya, “Mbok ya sekalian DSLR gitu mbak”. Akunya kekeh, “Nggak pak, saya kamera pocket aja cukup”. Ha ha,, ini bukan semacam minder atau apa ya.. Cuman emang saya pengennya kamera pocket. Bisa disakuin. Dan poin pentingnya, kalau gambar yang kita hasilkan atau teknik yang kita kuasai atau minat kita sama fotografi nggak gede2 amat ngapain punya kamera DSLR. Mubadzir. Pemborosan. Nanti pabriknya mengira minat akan DSLR makin tinggi, maka dia meningkatkan produksi, maka akan menyedot banyak sumber daya alam untuk membuat sebuah kamera DSLR yang lebih rumit itu. He he.. 

Beberapa waktu lalu waktu jalan2 nyari tempat yang ijo royo2 di Big City Surabaya, saya bawa kamera Canon Power Shoot A810 punya kantor. Saya pergi bersama temanku. Temanku ini mimpi banget punya DSLR. Nah, pas dia tau kamera pocket yang kubawa ini bisa menimbulkan efek blur di belakang focus di depan dan sebaliknya, di excited. Katanya “waaa,, kayak DSLR jeuung, ini berapa MegaPixel?”. “Enam belas” jawabku. Dan dia makin heboh. Katanya, dia mau beli ini aja sebelum punya DSLR.

Ini hasil jepretan temanku:

 
Jadi kamera ini spesifikasinya sbb (yg sebenernya aku juga nggak ngerti ini maksudnya apa) :
  • Ukuran (L x W x H cm)     9.47 x 6.13 x 2.98 cm
  • Berat (kg)     0.12 kg
  • Ukuran Layar (in)     2.7
  • Zoom Optik     5.0
  • Megapiksel     16.0
  • Fitur     HD Recording|Image Stabilization|Wide Angle
  • Output     Component Video|Composite Video|USB
  • USB Port     Ya
  • Resolusi Layar     230000 dot
  • Tipe Baterai     AA
  • Format Foto     JPEG, DPOF
  • Ukuran File Foto     4608x3456
  • Format Video     MOV
  • Video HD     Ya
  • Resolusi Video     1280 x 720
  • Focal Length     5-25 mm
  • Image Stabilization     Ya
  • Range Aperture Lensa     f/2.8-6.9
  • Zoom Digital     4x
  • ISO Range     100 - 1600
  • Range Shutter Speed     1 - 1/2000 detik
  • Built in Flash     Ya
  • Tipe Memory Card     SD, SDHC, SDXC
  • Tipe Layar     TFT
 Sumber: http://hargakameraa.blogspot.com/2013/04/harga-kamera-canon-powershot-a810.html

Aku kan suka mootret wajah orang. Tapi belum pernah secara serius motret wajah orang pakai kamera ini.Cuma, masih di lokasi yang sama kita poto2an hi hi..


Tapi sepertinya kualitas foto dengan kamera ini tergantung banget sama ketersediaan cahaya. Foto diatas dilakukan sore hari di spot yang entah bagaimana mendukung. Coba kita bandingkan dengan jepretan teman saya di lain waktu, di bawah tenda biru: 

Atau di luar ruangan yang spotnya biasa aja kayak gini:

Hasilnya juga bisa sebiasa ini. Atau ini bagus ya sebenernya? Entah tekniknya entah modelnya : 
 
Dia agak bermasalah jika kekurangan cahaya. Atau perlu pengaturan khusus. Ini contohnya ketika mengambil foto malam hari baik jarak jauh atau yang di fokuskan ke objek:

Kecuali jika yang difoto adalah cahaya itu sendiri atau pemotret berada di bawah cahaya:

Nah, kalo ini asli pamer hasil jepretanku:


Jadi, Pocket Camera is not too bad you know.. Setidaknya sebelum saya melihat hasil jepretan saya pakai kamera DSLR, yang akan saya ceritakan di potingan berikutnya :)
 


Jodoh pasti bertemu--Sebuah resensi buku marketing

Judul: We are All Weird—Saatnya Menjadi Orang Aneh
Penulis: Seth Godin
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Kaifa-Entrepreneurship, PT. Mizan Pustaka
Tahun: 2011
Tebal: 104 h; 20,5 cm
Perolehan: Beli sendiri dengan harga 5 ribu rupiah di IBF Malang bersama teman2 relawan tanggal 2/12/13 :p

Menurutmu dengan sampul seperti ini, ini buku tentang apa?
Source Gambar di sini
Haa,, kupikir ini semacam buku psikologi/kepribadian kontemporer. Atau setidaknya buku lawak. And I was wrong! Tottaly Wrong! Bahkan synopsis di belakangnya pun tak mampu membantuku untuk mengetahui jenis buku apa ini. Bahkan juga gambar kurva lonceng di belakang. Kupikir, novel saja ada yang pakai teori Fisika, kenapa buku lawak tidak mungkin. He he.. Kecuali jika aku lebih jeli memperhatikan logo penerbit yang ternyata ada tambahan kata “Entrepreneurship”nya. Atau barcode belakangnya yang ada tulisan “Bisnis Manajemen”.

Buku ini ditulis oleh Seth Godin. Ia sudah menerbitkan 13 buku, blogger popular & seorang entrepreneur sukses. Buku2nya telah diterbitkan ke dalam lebih dari 35 bahasa. Ia adalah pendiri dari Squidoo.com, salah satu dari 100 situs web paling popular di AS. Godin juga kolumnis di Fast Company & Harvard Bussiness Review. Ia juga sudah pernah ribuan kali menjadi keynote speaker di berbagai perusahaan, lembaga pemerintah dan lembaga nirlaba.

Ya, jadi tentang kurva lonceng yang saya sebutkan tadi, anda tau kan? Yang bentuknya seperti bukit atau punuk unta. Itu adalah kurva distribusi normal. Apa itu normal? Normal adalah yang ada di tengah dari kurva itu. Yang paling banyak jumlahnya. Kalau ahli statistika dalam hal ini cukup serius untuk mendefinisikannya: Dalam teori probabilitas, distribusi normal (atau Gausian) adalah distribusi kontinu… Ketinggian rata2 pria dewasa di AS adalah sekitar 70 inci (175 cm), dengan standar deviasi sekitar 3 inci (7,5 cm). ini berarti bahwa kebanyakan pria (Sekitar 68%, dengan asumsi distribusi normal) memiliki ketinggian lebih atau kurang dari 3 inci dari rata2, satu standar deviasi. Jadi jika tinggi anda Antara 167,5 cm atau 182,5 cm, orang di kelas statistic akan mengatakan Anda berada dalam standar deviasi dari rata2. Di kelas Bahasa inggris, anda akan disebut normal.
Source gambar di sini

Dalam buku ini selanjutnya dijelaskan dan dipaparkan banyak contoh yang intinya mengacu pada kesimpulan bahwa: Kurva distribusi normal itu makin lebar. Atau lebih parah, ada banyak kurva dalam satu diagram. Oh ya, kalau yang normal itu adalah yang ada di tengah kurva. Nah yang ada di pinggiran itu adalah yang aneh. Jadi kalau kurvanya melebar, yang aneh itu makin banyak.

Masalahnya disini bagi para pemasar, dan produsen. Atau industry, atau pabrik yang memproduksi dan memasarkan barang secara massal. Tiba-tiba mengurangi penurunan jumlah konsumen. Pabrik sepatu, pakaian, elektronik, minuman soda bahkan penyedian jasa hotel. Disini dicontohkan banyak sekali kasus. Tapi karena kasusnya adalah barang2 produksi AS yang tidak saya mengerti, saya ambilkan contoh yang saya mengerti saja:

Kata si penulis: Teman saya Chip memiliki jaringan hotel di daerah San Fransisco. Diawali dua puluh lima tahun yang lalu, setiap hotel bersifat personal dan autentik—serta berbeda. Ketika berjalan masuk ke dalam salah satu hotel itu, Anda akan berkata, “wow, tempat ini khusus untukku”. Atau mungkin anda berkata “Apa-apaan ini?”. Detailnya pas. The Phoenix berada di lingkunhan San Fransisco yang buruk, dan bahkan bukan sebuah hotel. Melainkan motel dengan kolam renang yang dilukis tangan dan pesta sepanjang malam.

Ketika tren hotel butik berubah dan bertumbuh, beberapa pelaku bisnis hotel pasar massal (seperti Hyatt) mulai melihat-lihat dan berkata, “Baiklah, ini adalah hotel-hotel murah dengan harga relatife tinggi. Mari kita tumbangkan sebagian dan naikkan harga untuk bagian baru dari pasar massal.” Saya menuliskan ini dari meja di kamar saya di Hotel Andaz, Los Angeles, upaya Hyatt untuk menjadi aneh. Tapi hotel ini tidak aneh, setidaknya bagi saya. Masih belum pas benar.

Di kasus barang-barang produksi massal ini lebih parah. Sekarang makin banyak produsen yang bahkan mau menyediakan sepatu yang bisa didesain sendiri. Jika anda hanya punya satu kaki, Anda dapat membeli sepatu tunggal dari Nordstrom Online. Merekalah yang akan mencarikan pembeli untuk yang sebelah lagi. –Intermezo: Saya jadi ingat Budi, teman saya yang Cuma punya satu kaki. Suatu kali saya pernah bertanya, “kamu kalau beli sepatu, yang sebelahnya diapain Budi?”. Dia menjawab agak bingung,”yaa dibiarin aja mbak, kalau yang bagus tak simpen he he”

Dan kenapa ini semua terjadi? Jawabannya adalah karena seluruh penduduk dunia sekarang ini bisa terhubung, kapanpun dimanapun.
  • Memang banyak jenis orang yang menekuni hobi aneh seperti mereparasi mesin tik, sepeda klasik, koleksi kaset/VCD klasik. Tapi sebelumnya mereka sendirian. Kini mereka bisa terhubung, dua arah dan bertukar informasi tentang keanehan mereka.
  • Menjadi vegetarian atau Zoroastrian di Amerika itu aneh. Tapi tidak di India. Mendukung dan mengkampanyekan partai politik di tengah masyarakat passive itu aneh. Tapi tidak sekarang ketika Anda terhubung dengan internet.
  • Internet juga memungkinkan anda untuk mencari benda teraneh, hobi teraneh, dan apapun aneh yang lain.
Factor lain adalah kenyataan bahwa masyarakat sekarang makin kaya. Masih menurut penulis: Kaya disini bukan berarti banyak harta. Kaya adalah istilah Saya untuk seseorang yang mampu untuk membuat pilihan, yang memiliki lebih dari sumber daya yang memadai untuk bertahan hidup. Anda tidak perlu pesawat pribadi untuk menjadi kaya, tetapi anda perlu cukup waktu dan makanan dan kesehatan dan akses agar dapat berikteraksi dengan pasar untuk barang-barang dan untuk ide-ide. Seorag Swami yang saya jumpai di India adalah kaya. Bukan karena ia memiliki rumah mewah atau mobil (dia tidak memilikinya). Dia kaya karena dia bisa membuat pilihan dan dia dapat membuat dampak pada sukunya. Bukan hanya pilihan tentang apa yang akan dibeli, tetapi pilihan tentang menjalani hidup. Haaa.. Aku suka definisi ini, karena kalau begini aku masuk kriteria kaya :D

Buku ini juga berbicara dengan baik tentang pendidikan yang juga produk massa. Anak-anak disiapkan untuk menjadi SDM pekerja yang menjadi komoditi pabrik pembuat produk massa.

Yah, jadi intinya aku tertipu. Ini buku tentang entrepreneurship/marketing/manajemen bisnis. Ya, semacam itu. Tapi karena aku adalah pembaca yang tidak mudah menyerah akhirnya setelah hampir sebulan selesai juga buku ini. Dengan ketipisannya harusnya 2 hari juga selesai. Tapi kenyataan bahwa dengan ketipisannya ini pada akhirnya aku tidak bisa berhenti untuk menulis reviewnya itu aneh. Aku jadi pengen semacam menulis ulang buku ini versi Indonesia supaya lebih bisa dipahami orang banyak. Kemudian menyebarkannya.
Terus terang di Review ini banyak alur dan kerangka pikir penulis yang aku bolak-balik. Mengikuti apa yang aku pahami setelah membaca buku ini. Karena seperti biasanya buku terjemahan, buku ini susah sekali dibaca. Aku bahkan tanpa sadar membaca ulang halaman 15 misalnya, padahal seharusnya aku sudah sampai halaman 24. Karena aku lupa sudah membaca halaman itu sebelumnya. Padahal fakta buku ini valuable banget. Menurutku.

Nih ya, aku bekerja di lembaga nirlaba. Tepatnya zakat. Aku cukup tau kalau lembaga ini, juga mungkin lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama sedang mati2an mengejar target. Macam2 strategi dilancarkan. Di sisi lain—IMHO—menurut SWOT, di bagian treat itu, bayak sekali list ancaman dari luar. Dalam hal ini pesaing. Yang dalam hal ini juga pesaingnya aneh-aneh. #SR (Sedekah Rombongan) misalnya, komunitas SeBung (Sego Bungkus), Makelar Sedekah, mereka ini ngePOP baget gila! Dan cuman lewat Twitter! Catet! Lewat Twitter! Belum lagi kasus2 dadakan kayak: Koin untuk Prita, Tasripin dll. Mereka ini nggak cetak baliho, spanduk, banner. Nggak nerbitin majalah bulanan, laporan tahunanan dll. Nggak punya banyak karyawan yang harus digaji. Tapi apakah mereka pesaing yang tidak patut untuk diperhitungkan? He he.. nggak taulah, cuman arah trend jaman sekarang memang aneh. Oh ya, ini terlepas sama yang namany Fastabiqul Khoirot lhoo yaa.. 

Intermezo lagi. Mungkin saking keliatan aku berusahanya menyelesaika buku ini, teman kosku sampai berkata “Udah nggak usah dipaksaian kalau nggak suka”. Aku bersikeras “Aku tu pantang mbak baca buku nggak selesai. Sejelek apapun!”. Dan lagi (kali ini hanya dalam hati) aku ini sedang belajar mati2an untuk melihat segala sesuatu secara positive, lebih dekat serta mencoba menikmati apa yang ada. Dan memang, baru beberapa lembar baca buku ini (walaupun tersiksa), aku mulai agak optimis untuk memulai ide usaha kemasan untuk UKM atau menjual buku-buku Rekam Medik. 

Atau yang agak sedikit lebih gila, setelah diajak ngobrol tentang “Teh” sama temanku. Coffee Shop kan banyak ya? tapi kalau Tea Shop, ada nggak sih? Bikin satu kayaknya keren deh. Wakakak.. menyediakan Teh yang diseduh ala Jepang, ala orang Jawa, ala orang sunda, ala Bapakku. Yang mungkin di campur melati, bunga krisan, kayu manis, lemon, strawberi, nangka, wakakak. 

Haaah, akhirnya, satu kesimpulan absurd yang juga nggak nyambung (biar total anehnya) adalah keyakinanku bahwa, bertemu buku itu adalah jodoh. Kenapa dia sampai ada di tangan kita. Meski sepertinya itu mustahil. Jangan ketawa! karena aku benar2 pernah mengalami hal yang lebih magis. Dari aku yang salah duga tentang buku ini. Tentang sampul, judulnya dan isinya yang nggak sinkron. Sebel? Pasti. Tapi pada akhirnya ini sudah jadi milikku. Keputusan untuk menikmati atau merutukinya ada di tanganku. Keputusan untuk aku baca habis atau tidak juga ditanganku. Pada akhirnya setelah diupayakan, aku benar-benar mendapatkan ilmu yang keren.

Everything happen with a reason right? Jadi, kenapa aku sampai membeli buku ini juga pasti ada maksudnya. Emang udah jodoh. Jodoh pasti bertemu. Ha ha.. 

Oh ya, satu lagi. Disini penulisnya ngasih tau, kalau yang disampul buku itu namanya Jeremy. Salah seorang peserta kompetisi janggut dan kumis sedunia. Dia bangga menjadi aneh, dan cukup kaya untuk memilih passionnya. –beeh, dia nggak tau aja, di Indonesia banyak yang begini :D



Minggu, 22 Desember 2013

Kesan Natural di Film 99 Cahaya di Langit Eropa

Gambar dari sini
99 Cahaya di Langit Eropa. Judul film ini pasti tidak asing terdengar di telinga pecinta buku. Ya, ini adalah versi film dari buku berjudul sama: 99 Cahaya di Langit Eropa. Saya sendiri belum sempat membaca buku ini. Namun justru karena itu, disini saya akan benar-benar hanya menulis tentang filmnya tanpa membandingkannya dengan bukunya—suatu hal yang pasti terjadi dari film yang diangkat dari buku adalah pembandingan.

Film ini berkisah tentang pengalaman Hanum Rais (Acha Septriasa) di Wina Austria, dalam rangka menemani suaminya Rangga Almahendra (Abimana) menyelesaikan studi. Disana ia mengalami kebosanan karena tidak mempunyai kegiatan. Ia habiskan waktunya dengan jalan-jalan dan mencari pekerjaan. Namun karena Bahasa Jermannya yang kurang baik, hal itu agak susah. Hingga pada suatu hari ia membaca leaflet tempat kursus Bahasa Jerman. Ia benar-benar mengikutinya. Dan disanalah ia bertemu dengan Fatma (Raline Shah). Perempuan muslim asal Turki yang juga tinggal di Wina. Dari perkenalannya ia kemudian mengenal Aisye (Gecchae), anak Fatma yang periang dan menginspirasi orang-orang di sekelilingnya. Kisah selanjutnya adalah tentang Hanum yang banyak belajar tentang Islam pada Fatma dan Aisye. Bukan mengenai tata cara, karena Hanum sendiri sesungguhnya termasuk muslim cukup taat. Tapi lebih kepada bagaimana menjadi muslim seharusnya di tengah-tengah masyarakat. Mungkin itu tidak akan terlalu penting jika kita berada sebagai anggota mayoritas. Tapi di negeri orang, dimana muslim adalah minoritas, justru identitas muslim harus dijaga. Muslim yang sejatinya penuh dengan kasih sayang, penebar kebaikan, kedamaian dan toleransi . Bagaimana menjadi agen muslim yang baik. 

Tidak hanya perjalanan Hanum yang menjadi fokus cerita di film ini. Perjalanan suaminya, Rangga Almahendra (Abimana) yang sedang kuliah di sebuah universitas di Wina juga diceritakan dengan apik. Masih tentang bagaimana seorang muslim yang minoritas menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mayoritas bukan muslim. Bagaimana ia bersama temannya yang sepertinya digambarkan sebagai muslim Asia Selatan/Tengah yaitu Khan (Alex Abbad) melaksanakan sholat di sudut ruangan kampus dan akhirnya harus pindah karena ditegur temannya Maarja (Marissa Nassution). Mereka diberitahu bahwa sudah disediakan tempat khusus untuk ibadah, yang setelah di lihat ternyata bercampur dengan tempat ibadah agama lain yang minoritas seperti Ko ngu chu, Budha dll. Berbeda dengan temannya yang tempramen dan frontal, Rangga adalah sosok yang lebih nrimo. Rangga juga mempunyai sahabat lain yang sering bertanya bahkan protes tentang agama Rangga (Islam) yaitu Stefan (Nino Fernandez)

Latar film ini tidak hanya ada di Wina-Austria. Dikarenakan proposal riset Rangga yang bagus menurut Prof. Reinhart (dosennya) ia diberi kesempatan untuk mempresantasikannya di Paris-Perancis. Hanum berkesempatan ikut dengan suaminya. Berkat bantuan dari Fatma, ia bertemu dengan Marion (Dewi Sandra). Sejarawan muslim yang juga teman Fatma. Disini pemahaman Hanum mengenai jejak-jejak peninggalan Islam di Eropa makin jauh dan memebekaskan kekaguman.

Kesan yang langsung terasa dari film ini adalah kesan alamiah, natural. Seperti bukan film melainkan kisah perjalanan yang direkam sendiri. Ya, semuanya begitu natural. Ceritanya, pemainnya, alurnya, plotnya bahkan dramanya. Mulai dari narasi tokoh utama pembuat cerita (:Hanum Rais) di awal film yang begitu personal. Perpindahan Bahasa baik dari Inggris atau Jerman ke Indonesia dalam percakapan yang begitu halus. Kemudian diperkuat dengan para pemainnya yang juga bermain sangat natural. Saya dan teman-teman saya terus terang selalu suka adegan dimana Hanum bercakap-cakap dengan suaminya Rangga Almahendra. Cara mereka bercanda, gimmicknya, pilihan katanya, semuanya natural. Seperti sedang tidak main film. 

Seperti saat pertama Hanum menceritakan kisah pertemuannya dengan Fatma kepada suaminya dan suaminya malah berkata bahwa istrinya itu akan terlihat cantik memakai jilbab, Hanum berdiri dan bergumam “kamu ah nggak nyambung” dengan reaksi yang natural. Comtoh lain adalah percakapan antara Rangga dan salah satu temannya atau keduanya yang seringkali bertema tentang agama selalu terdengar begitu renyah dan menggelitik penuh dengan anekdot. Ini juga menambah kesan natural dari keseluruhan film. Juga saat pertama kali Hanum dan suaminya bertemu dengan Marion yang ternyata berhijab. Cara memandang suaminya yang kemudian diprotes oleh Hanum membuat penonton ikut geli melihatnya. Seperti melihat teman kita sedang bercanda dihadapan kita.

Bukan hanya Acha dan Abimana, pemain-pemain lain tak kalah bagus tentunya. Gacchea sangat bagus dan natural dalam memerankan Aisye. Dewi Sandra, Nino Fernandes, dan Marissa Nasution yang sangat Eropa. Raline Shah dan Alex Abbad yang islami. Bahkan tetangga yang memprotes bau ikan asin dan suara TV yang terlalu keras itu juga bagus. Kalau ada satu karakter dan plot yang terkesan agak dipaksakan itu justru saat Hanum bertemu dengan Fatin yang sedang Syuting video clip. Walaupun terlihat juga usaha sutradaranya untuk membuatnya senatural mungkin.

Latar dan cerita di film ini tidak hanya memanjakan mata penonton dengan pemandangan tentang Eropa yang luarbiasa, tapi juga membuka wawasan penonton mengenai sejarah dunia dan sejarah Islam. Cukup provokatif dan membuat ingin merasakan dan melihat sendiri apa yang dipaparkan di film tersebut.

Jadi, salute buat para pemainnya, penyusun skenario, dan terutama sutradaranya: Guntur Soeharjanto yang meramu semuanya begitu apik, yang terus terang baru saya ketahui debutnya di film ini. Trimakasih.